PAPUA - Seorang tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) wilayah Yalimo, Otinus Mabel, ditemukan tewas mengenaskan di dalam sebuah honai rumah tradisional Papua yang selama ini digunakan sebagai tempat peristirahatan kelompoknya. Peristiwa yang terjadi pada awal pekan ini langsung memicu sorotan publik dan memunculkan dugaan kuat adanya perselisihan internal dalam tubuh OPM. Selasa 15 Juli 2025.
Berdasarkan keterangan dari warga setempat, jenazah Otinus ditemukan dalam kondisi luka-luka parah yang mengarah pada tindak kekerasan sebelum kematian, diduga dilakukan oleh rekan sesama anggota kelompok separatis tersebut.
Tokoh masyarakat Yalimo, Yulius Wenda, mengungkapkan keprihatinannya atas peristiwa ini. Ia menilai kematian Otinus Mabel mencerminkan kerapuhan dan konflik ideologis di dalam OPM.
“Otinus dulunya dipercaya kelompoknya. Tapi saat ia mulai bicara tentang perjuangan yang lebih manusiawi, justru dia yang dikorbankan. Ini menunjukkan OPM tak memberi ruang bagi perbedaan pendapat, ” ujar Yulius, Selasa (15/7/2025).
Sementara itu, tokoh pemuda Yalimo, Nathanael Kobak, menyebut peristiwa ini sebagai tamparan moral bagi mereka yang masih mendukung gerakan bersenjata.
“Bagaimana mungkin ingin Papua merdeka jika anggotanya sendiri dibunuh? Ini bukan perjuangan, tapi kekacauan internal. Mereka yang ingin damai malah disingkirkan, ” tegasnya.
Kematian Otinus dinilai membuka mata masyarakat bahwa OPM bukan hanya ancaman bagi warga sipil, tetapi juga bagi anggotanya sendiri. Banyak pihak menilai organisasi tersebut kini kehilangan arah dan legitimasi, ditandai dengan kekerasan yang tak hanya menyasar aparat negara, tetapi juga rakyat biasa dan sesama pejuang yang berbeda pandangan.
Sejumlah warga dan tokoh adat mendesak aparat keamanan untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap kematian Otinus. Meski lokasi kejadian berada di wilayah yang sulit dijangkau, masyarakat berharap negara hadir untuk memberikan rasa aman serta kejelasan hukum, terutama bagi penduduk sipil di sekitar lokasi.
Kematian Otinus Mabel kini menjadi simbol ironis dari konflik separatisme di Papua: ketika suara damai dibungkam oleh peluru, dan harapan disisihkan oleh kekuasaan internal yang represif. (Apk/Red1922)