SOLOK SELATAN — Dalam senyap pagi Jorong Pincuran Tujuah, Nagari Lubuk Gadang Selatan, deru palu dan gesekan gergaji membelah udara. Bukan pertanda proyek besar perkotaan, melainkan denyut nadi kemanusiaan yang digerakkan oleh tangan-tangan perkasa berseragam loreng. Para prajurit TNI dari Kodim 0309/Solok bukan datang dengan senjata, melainkan membawa palu, sekop, dan hati yang peduli.
Selama lebih dari satu bulan, mereka menyatu bersama warga dalam program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-125, menyentuh ruang-ruang kehidupan yang sering luput dari perhatian pembangunan: membuka jalan bagi desa terpencil, membuat bak air untuk pemenuhan kebutuhan bersih, hingga merehab rumah-rumah warga miskin yang hampir roboh dimakan usia.
Dan di antara tumpukan kayu dan pasir, nama Ngantinem menjelma jadi kisah yang menggetarkan hati. Seorang janda berusia 51 tahun, tubuhnya renta digerogoti penyakit, suaranya pelan karena lelah bertahan, tinggal di sebuah rumah tua berdinding papan rapuh, beratap bocor, dan berlantaikan tanah.
Ia tidak meminta banyak. Hanya ingin rumah yang tak lagi membuatnya menggigil saat hujan menyusup malam. Sebuah tempat sederhana untuk menutup usia dengan tenang. Dan harapan itu dijawab oleh TNI.
Dari pertengahan Juni 2025, dalam program Pra-TMMD, anggota Satgas TMMD mulai bekerja: membongkar rumah tua Ibu Ngantinem, menggali fondasi baru, menyusun bata dan semen dengan semangat tanpa kenal lelah, merangkai material dengan paku dan palu. Panas terik tak jadi penghalang, guyuran hujan pun tak menyurutkan semangat mereka. Setiap ayunan palu adalah wujud cinta negara pada rakyatnya.
Rumah itu dibangun perlahan, namun penuh makna. Tidak mewah, tapi layak untuk melindungi dari dingin malam dan panas siang. Dinding kokoh, atap kuat, lantai bersih. Rumah yang sederhana, namun cukup untuk mengangkat martabat sebuah keluarga kecil yang selama ini hidup dalam keterbatasan.
Ibu Ngantinem menyaksikan semua itu dengan mata berkaca. Air matanya jatuh, entah karena bahagia, terharu, atau mungkin karena sadar bahwa di ujung usia, Tuhan masih mengirimkan hadiah tak terduga.
"Alhamdulillah, Terima kasih… ya Allah… terima kasih, Bapak TNI…" katanya lirih berulang kali kepada para prajurit, suara yang nyaris tak terdengar namun menggema kuat di relung siapa pun yang mendengarnya.
Takdir Mengetuk Sebelum Pintu Dibuka
Namun semesta punya kisah sendiri. Sebelum rumah itu rampung diserahterimakan dalam penutupan TMMD, Ibu Ngantinem dipanggil Sang Pemilik Hidup. Pada tanggal 2 Agustus 2025, ia mengembuskan napas terakhir. Rumah yang hendak ditinggalinya kini menjadi peninggalan. Tempat anaknya—seorang pekerja serabutan—dan cucunya yang putus sekolah, melanjutkan hidup.
Kabar kepergian Ibu Ngantinem pun menyentakkan Satgas TMMD Kodim 0309/Solok. mereka menghantarkan Ibu Ngantinem hingga ke tempat peristirahatan terakhirnya.
“Ini bukan sekadar rumah. Ini adalah simbol bahwa harapan bisa datang kapan saja, bahkan di ujung hayat, ” ucap salah satu prajurit Satgas TMMD dengan mata berkaca.
Dandim 0309/Solok Letkol Kav Sapta Raharja, S.IP, selaku Dansatgas TMMD Kodim 0309/Solok juga menyampaikan rasa duka mendalam terhadap berpulangnya ke hadirat Ilahi Ibu Ngantinem, salah seorang penerima manfaat / sasaran TMMD tahun ini.
“Meski beliau tak sempat menempati rumah barunya, kami percaya perjuangan ini tak sia-sia. Rumah itu tetap menjadi simbol kasih sayang dan perhatian negara kepada rakyat, ” ungkap Dandim Letkol Kav Sapta Raharja, S.IP, dengan nada haru.
Anggota DPRD Sumbar dari Dapil Solok Raya, Agus Syahdeman, SE, turut menyampaikan duka cita atas wafatnya Ibu Ngantinem. Ia memuji peran besar Satgas TMMD yang dengan gigih menyentuh kehidupan warga pelosok yang kerap luput dari perhatian pembangunan.
“Kisah ini jadi pengingat bahwa masih banyak masyarakat kita yang hidup dalam cengkeraman kemiskinan ekstrem. Diperlukan sinergi konkret dari semua jenjang hingga ke tingkat jorong dan RT/RW, ” tegasnya.
Agus berharap tak ada lagi cerita serupa yang terjadi di Solok Raya, Sumatera Barat, bahkan di Indonesia, agar satu demi satu warga bisa bangkit dari keterpurukan, dan tak ada lagi air mata yang menetes karena ketidakadilan hidup. Ia mendorong pendataan menyeluruh bagi warga miskin ekstrem agar bantuan tidak salah sasaran dan mampu menyentuh mereka yang paling membutuhkan baik dari sisi sandang, pangan dan papan.
Kini rumah itu berdiri kokoh dalam keheningan, menjadi monumen kecil harapan, warisan terakhir Ibu Ngantinem untuk keluarganya. Ia pergi dalam senyum dan syukur, meninggalkan kenangan tentang bagaimana prajurit TNI hadir tak hanya untuk berperang, tapi juga untuk membangun, memanusiakan manusia, dan menyalakan api harapan bagi mereka yang hampir padam, menyulam kembali asa yang hampir putus.
TMMD bukan sekadar proyek pembangunan. Ia adalah simbol persatuan, gotong royong, dan komitmen negara untuk hadir hingga ke pelosok. Dalam diri prajurit TNI, terpatri semangat "Bersama Rakyat, TNI Kuat" bukan hanya slogan, melainkan napas perjuangan yang nyata.
Kisah Ibu Ngantinem adalah satu dari sekian wajah harapan yang disentuh TMMD. Dan meski kini ia telah tiada, rumah barunya berdiri menjadi saksi: bahwa ketika negara dan rakyat saling menggenggam, maka tak ada yang terlalu kecil untuk dibantu, tak ada yang terlalu jauh untuk dijangkau.