WIRAUSAHA - Perjalanan luar biasa seorang perantau dari Fujian, Tiongkok, bernama Go Soe Loet, menjadi bukti nyata bagaimana ketekunan dan visi dapat membangun kerajaan bisnis di tanah Indonesia. Dimulai pada era 1920-an di Surabaya, Go Soe Loet memberanikan diri merantau dan mendirikan usaha kopi rumahan yang kelak akan mengubah lanskap industri kopi nasional.
Dengan keseriusan yang mendalam pada setiap biji kopi yang dipilih, Go Soe Loet tak pernah berkompromi soal kualitas. Ia memastikan hanya biji kopi terbaik yang akan diolahnya, mulai dari proses penggorengan hingga penumbukan menjadi bubuk halus yang siap dipasarkan. Perjuangan di pasar Jawa Timur yang ketat tak membuatnya gentar. Ia cerdik membedakan produknya dengan mengemas kopi dalam kertas coklat berlabel 'HAP Hootjan', yang berarti 'kapal api', sebuah pengingat akan perjalanannya menggunakan kapal uap menuju Jawa.
Meskipun awalnya tertatih-tatih, bisnis kopi Go Soe Loet perlahan namun pasti menunjukkan taringnya. Kopi buatannya laris manis, bahkan mampu bertahan melewati berbagai gejolak ekonomi. Kehidupan pribadinya pun berkembang, ia menikah dan dikaruniai seorang putra bernama Go Tek Whie. Sejak dini, Go Tek Whie telah dilibatkan dalam bisnis sang ayah, sebuah investasi berharga yang kelak akan membawa merek HAP Hootjan terbang lebih tinggi.
Memasuki dekade 1970-an, Go Tek Whie, yang kemudian dikenal sebagai Soedomo Mergonoto, mengambil alih estafet kepemimpinan. Ia melakukan transformasi krusial dengan mengganti nama merek dagang HAP Hootjan menjadi 'Kapal Api'. Visi Soedomo teruji ketika bisnis kopi sempat mengalami kemerosotan. Penyelidikan mengungkap akar masalahnya: mesin pengolah kopi yang sudah ketinggalan zaman, bahkan berusia lebih dari 100 tahun.
Menyadari urgensi pembaruan teknologi, Soedomo Mergonoto mengambil langkah berani. Pada tahun 1978, ia bertolak ke Jerman untuk menghadiri pameran mesin pengolah kopi. Terperangah dengan harga mesin yang fantastis, sekitar Rp 123 juta, Soedomo memilih jalan alternatif. Ia nekat membuat mesin sendiri dengan anggaran terbatas, hanya Rp 870 ribu. Mesin buatannya memang mampu mengolah 180 kg kopi per jam, namun ironisnya, kualitas kopi justru menurun drastis.
Kegagalan tersebut menjadi pelajaran berharga. Soedomo akhirnya harus merogoh kocek dalam untuk membeli mesin Jerman seharga Rp 123 juta tersebut, dengan bantuan pinjaman dari Bank Pembangunan Indonesia. Pengalaman ini membuktikan bahwa investasi pada teknologi canggih berbanding lurus dengan peningkatan kualitas produk. Keberhasilan mesin baru tersebut mendongkrak kualitas Kapal Api secara signifikan, menarik minat konsumen yang kian bertambah.
Dengan semangat yang membara, Soedomo Mergonoto mendirikan PT Santos Jaya Abadi di Sidoarjo, yang kemudian menjadi pusat dari kerajaan bisnisnya. Untuk menjangkau pasar yang lebih luas, ia tak ragu berinvestasi besar pada iklan televisi di TVRI, sebuah langkah yang terbukti jitu. Upaya ini menjadikan Kopi Kapal Api sebagai raja kopi di Indonesia, merambah ke berbagai kota besar di luar Jawa seperti Palembang, Makassar, Medan, dan Pontianak.
Puncaknya, pada tahun 1985, Kopi Kapal Api berhasil menembus pasar internasional, diekspor ke Timur Tengah, Taiwan, Hongkong, dan Malaysia. Kesuksesan tak berhenti di situ. Setelah kopi bubuk hitam Kapal Api merajai pasar, Soedomo meluncurkan Kopi ABC, kopi susu instan yang disukai masyarakat Indonesia. Inovasi tak henti-hentinya berlanjut dengan pembukaan kedai kopi premium bernama Excelso pada tahun 1992, menargetkan segmen menengah atas.
Tak berhenti pada kopi, diversifikasi bisnis terus dilakukan dengan meluncurkan produk-produk unggulan lain seperti Good Day, Ceremix, dan permen Relaxa. Berbagai keberhasilan ini mengantarkan Soedomo Mergonoto ke puncak kesuksesan, menjadikannya sosok 'Crazy Rich' dari Surabaya yang kisahnya menginspirasi banyak wirausahawan di Indonesia. (PERS)