Generasi Z dan Masa Depan Ekonomi Kreatif Indonesia

22 hours ago 1

OPINI -   Di kafe yang riuh oleh suara musik, di kamar kos yang sempit, di ruang tamu sederhana, bahkan di pinggir jalan—ide-ide besar kini lahir dari ponsel kecil di tangan anak muda. Dari layar itu, mereka merekam, mendesain, menulis, menjual, dan menciptakan pekerjaan baru yang tak dikenal sepuluh tahun lalu. Mereka adalah generasi yang tumbuh bersama internet, yang berani mencoba hal baru, berpikir cepat, dan tak gentar pada kegagalan.

Namun di balik energi yang meluap-luap itu, ada sesuatu yang masih kurang: sistem yang belum siap menampung semangat mereka. Banyak anak muda punya ide, tapi bingung harus mulai dari mana. Mereka ingin berkarya, tapi tak punya ruang, mentor, atau dukungan. Mereka punya nyala, tapi belum punya arah.

𝑲𝒐𝒍𝒂𝒃𝒐𝒓𝒂𝒔𝒊, 𝑩𝒖𝒌𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒎𝒑𝒆𝒕𝒊𝒔𝒊

Ekonomi kreatif seharusnya menjadi wadah di mana nyala itu tumbuh menjadi api. Bukan ruang kompetisi yang membuat sebagian menang dan sebagian kalah, melainkan ruang kolaborasi di mana banyak orang bisa berkembang bersama. Di sinilah gagasan "multi helix" menemukan maknanya—kerja bersama antara pemerintah, kampus, dunia usaha, komunitas, dan media.

Bayangkan jika kelimanya bergerak serempak. Pemerintah menyiapkan aturan yang ramah bagi pelaku kreatif, kampus melahirkan riset dan talenta, dunia usaha membuka pintu modal dan pasar, komunitas menjadi tempat belajar dan berbagi pengalaman, sementara media menyuarakan kisah-kisah inspiratif yang menular ke banyak orang.

Kreativitas, pada dasarnya, tidak pernah tumbuh sendirian. Ia memerlukan tempat untuk berakar, dukungan untuk mekar, dan jaringan agar bisa berbunga di banyak sisi.

𝑹𝒖𝒂𝒏𝒈, 𝑩𝒊𝒎𝒃𝒊𝒏𝒈𝒂𝒏, 𝒅𝒂𝒏 𝑲𝒆𝒑𝒆𝒓𝒄𝒂𝒚𝒂𝒂𝒏

Indonesia sebenarnya tak kekurangan ide. Yang kita butuhkan adalah ruang untuk menumbuhkannya. Bayangkan setiap kampus memiliki ruang kreatif—bukan sekadar coworking space, tapi tempat yang hidup, di mana mahasiswa, pelaku usaha, dan komunitas lokal saling bertukar ide dan mencipta karya bersama. Di ruang seperti itu, kegagalan tak dilihat sebagai akhir, tapi sebagai bagian dari proses belajar.

Anak-anak muda juga perlu figur yang bisa mereka ajak bicara, bukan sekadar dosen atau pejabat, tapi sosok yang pernah jatuh dan bangkit lebih dulu. Mereka butuh mentor yang bisa menuntun tanpa menggurui, memberi arah tanpa mematikan nyali. Pengetahuan seharusnya tak berhenti di ruang kelas—ia berpindah lewat obrolan, kolaborasi, dan kepercayaan.

Dan tentu saja, ide perlu dukungan finansial. Selama ini banyak gagasan brilian kandas karena urusan modal. Padahal, karya, desain, atau hak cipta semestinya bisa diakui sebagai aset yang layak dijadikan jaminan. Bila kreativitas mendapat nilai yang sama pentingnya dengan kekayaan fisik, ekonomi kita akan bergerak bukan hanya oleh mereka yang punya uang, tapi juga oleh mereka yang punya imajinasi.

𝑳𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝑺𝒆𝒌𝒂𝒅𝒂𝒓 𝑨𝒏𝒈𝒌𝒂

Generasi Z tidak hanya ingin mencari penghasilan; mereka ingin karyanya bermakna. Mereka ingin merasa berguna bagi lingkungan, masyarakat, dan budaya. Karena itu, arah kebijakan ekonomi kreatif tidak cukup jika hanya bicara angka. Ia harus memelihara nilai—tentang kebersamaan, keberlanjutan, dan kesempatan yang terbuka bagi siapa pun yang berani bermimpi.

Ekonomi kreatif adalah cermin identitas bangsa. Kalau dulu sumber daya terbesar Indonesia adalah hasil bumi, maka sekarang dan nanti sumber daya terbesarnya adalah daya cipta manusia. Imajinasi adalah tambang baru yang tak akan habis digali. Itulah cara mendefinisikan 'bonus demografi' yang lebih realistis, sebenarnya.

Dan di tengah semuanya, generasi Z adalah matahari yang baru terbit. Cahayanya mungkin belum terang sempurna, tapi hangat dan menjanjikan. Tugas kita adalah memastikan sinar itu tak padam—bukan karena kurang daya, tapi karena kurang percaya. Sebab masa depan ekonomi kreatif Indonesia tidak hanya ditentukan oleh teknologi, tapi oleh keberanian manusia untuk bermimpi, bekerja bersama, dan terus percaya bahwa ide kecil pun bisa mengubah dunia

 Oleh: Indra Gusnady

Read Entire Article
Karya | Politics | | |