PANGKEP SULSEL - Mengubah lahan tidur di awal musim hujan menjadi perkebunan terpadu bukan hanya program pertanian, tetapi gerakan strategis membangun kemandirian pangan dan ekonomi keluarga. Selama ini, banyak lahan di desa dan pinggiran kota dibiarkan kosong, ditumbuhi semak, dan hanya menunggu musim lewat tanpa manfaat. Padahal, di saat harga pangan naik dan ketergantungan pasar semakin tinggi, kebun terpadu menjadi jawaban nyata untuk menghadirkan pangan sehat dan nilai ekonomi berkelanjutan.
Konsep perkebunan terpadu menawarkan sinergi antara tanaman, ikan, dan ternak dalam satu ekosistem saling menguatkan. Tanaman sayur tumbuh cepat memberi suplai harian, kolam ikan menjadi sumber protein sekaligus nutrisi cair alami untuk tanaman, sementara ayam kampung menghasilkan telur, daging, dan pupuk organik. Ini bukan sekadar bertani, melainkan membangun ekosistem hidup yang tidak menghasilkan limbah karena semuanya kembali berguna.
Di tengah ancaman krisis pangan global, masyarakat perlu kembali pada sumber kekuatan tradisional: tanah dan air. Kita pernah menjadi bangsa agraris yang hidup dari alam namun kini banyak terjebak pada pola konsumsi pasar modern. Lahan yang kembali dihidupkan bukan hanya menghasilkan panen, tetapi juga membangkitkan jati diri bangsa sebagai pengolah tanah yang mandiri dan bermartabat.
Perkebunan terpadu juga membuka ruang pemberdayaan sosial. Anak muda bisa terlibat dalam budidaya organik, masyarakat sekitar dapat belajar mengolah limbah menjadi pupuk bernilai jual, sementara ibu rumah tangga memproduksi olahan hasil kebun. Bahkan, area kecil pun mampu membuka lapangan kerja baru dan menciptakan ekonomi mikro berbasis kampung yang kuat.
Lebih jauh, sistem ini bukan hanya bicara produksi, tetapi edukasi. Sebuah gazebo sederhana di tengah kebun dapat menjadi ruang diskusi, pelatihan, bahkan destinasi wisata lokal. Sekolah dapat mengajak murid belajar ekosistem hidup secara langsung, keluarga dapat menikmati kebun sebagai ruang rekreasi sehat, sementara konten edukasi digital dari kegiatan kebun memberi nilai tambah ekonomi di era media sosial.
Yang luar biasa dari kebun terpadu adalah budaya zero waste. Tidak ada yang terbuang—air kolam, sisa sayur, dan kotoran ternak semuanya kembali menjadi sumber kehidupan baru. Model ini mengajarkan harmoni lingkungan, mengurangi ketergantungan pupuk kimia, sekaligus menyehatkan tanah yang telah lama lelah oleh sistem pertanian instan.
Keberhasilan sistem ini bergantung pada langkah terukur dan konsistensi. Tidak perlu memulai besar, cukup skala kecil tetapi teratur, dimulai dari bedengan sederhana, kolam terpal, dan beberapa ekor ayam. Konsistensi perawatan, disiplin mencatat panen, serta promosi produk organik akan perlahan membangun reputasi dan pasar yang solid.
Teknologi sederhana seperti penampung air hujan, komposter rumah, dan fermentasi mikroba lokal (MOL) membuat biaya produksi rendah namun hasil maksimal. Dengan dokumentasi yang menarik di media sosial, kebun kecil bisa naik kelas menjadi usaha agroeduwisata, produsen pupuk organik, atau bahkan sentra pelatihan urban farming.
Pada akhirnya, menghidupkan lahan tidur adalah gerakan membangun masa depan. Di tengah ketidakpastian global, masyarakat yang mampu menghasilkan pangan sendiri adalah masyarakat yang kuat. Dari tanah yang sunyi lahirlah ekonomi baru, dari usaha sederhana tumbuh harapan besar. Setiap bedengan yang dibuat, setiap bibit yang ditanam, setiap kolam yang diisi ikan—semuanya adalah investasi kehidupan dan kedaulatan pangan. Kini saatnya, kita kembali menyatu dengan tanah, menanam harapan, dan memanen kemandirian.
Pangkep 1 Nopember 2025
Herman Djide
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Jurnalis Nasional Indonesia Cabang Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan









































