JAKARTA – Isu yang menyebutkan bahwa tanah bersertipikat akan diambil alih oleh negara jika dibiarkan kosong selama dua tahun belakangan ini ramai diperbincangkan masyarakat. Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (Dirjen PPTR) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Jonahar, meluruskan bahwa penertiban tanah telantar memiliki dasar hukum yang berbeda tergantung jenis hak atas tanahnya.
Menurut Jonahar, penetapan objek penertiban tanah telantar terhadap tanah berstatus Hak Milik (SHM) berbeda dengan tanah berstatus Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB). Saat ini, penertiban tanah telantar difokuskan pada tanah HGU dan HGB yang dimiliki oleh badan hukum, bukan tanah milik perorangan dengan status SHM.
Jonahar menjelaskan bahwa penertiban tanah hak milik baru dapat dilakukan jika telah memenuhi sejumlah kriteria yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Dalam aturan tersebut, tanah SHM dapat dikategorikan telantar apabila dikuasai oleh pihak lain dan berubah menjadi kawasan perkampungan, dikuasai oleh pihak lain selama 20 tahun berturut-turut tanpa hubungan hukum yang jelas, atau tidak memenuhi fungsi sosial sebagaimana mestinya. Ia menegaskan bahwa penertiban ini bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik agraria dan menertibkan penguasaan tanah yang tidak sesuai aturan.
Berbeda halnya dengan tanah HGU dan HGB. Berdasarkan PP Nomor 20 Tahun 2021, tanah dengan status HGU atau HGB dapat ditetapkan sebagai objek penertiban apabila tidak dimanfaatkan, tidak digunakan, atau tidak diusahakan sebagaimana peruntukannya dalam waktu dua tahun sejak hak tersebut diterbitkan. Ketentuan ini ditujukan untuk memastikan bahwa tanah yang diberikan hak penggunaannya dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan rencana awal permohonannya.
Jonahar mengimbau masyarakat agar tetap menjaga dan merawat tanah yang mereka miliki. Ia mengingatkan bahwa pemilik tanah, baik yang saat ini ditempati maupun yang lokasinya jauh, tetap memiliki tanggung jawab hukum dan sosial. “Kalau HGU, ditanami sesuai dengan proposal awalnya. Kalau HGB, dibangun sesuai peruntukannya. Kalau hak milik, jangan sampai dikuasai orang lain, ” ujar Jonahar.
Ia juga menegaskan bahwa tujuan utama dari kebijakan penertiban tanah telantar bukanlah untuk mengambil alih tanah milik masyarakat, melainkan agar seluruh bidang tanah di Indonesia dimanfaatkan secara maksimal demi kepentingan bersama. Kebijakan ini merupakan implementasi dari amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa tanah dan sumber daya agraria dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Melalui klarifikasi ini, Kementerian ATR/BPN berharap masyarakat tidak mudah terpengaruh isu yang tidak tepat, dan terus mendukung upaya pemerintah dalam mewujudkan penataan dan pemanfaatan tanah yang tertib, adil, dan berkelanjutan.