PAPUA - Lima tahun telah berlalu sejak tragedi memilukan yang merenggut nyawa Pendeta Yeremias Zanambani (68), seorang hamba Tuhan yang dikenal sebagai pengayom dan penjaga moral masyarakat Intan Jaya. Namun, luka mendalam akibat pembunuhan keji yang dilakukan oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) itu masih terasa hingga kini.
Peristiwa berdarah pada September 2020 itu menjadi salah satu catatan kelam kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua. Sang pendeta, yang dikenal setia melayani jemaatnya, ditangkap, disiksa, lalu ditembak hingga tewas di halaman rumahnya sendiri. Aksi brutal tersebut tidak hanya merenggut nyawa seorang tokoh agama, tetapi juga meninggalkan trauma panjang bagi keluarga, jemaat, dan masyarakat Papua secara luas.
Pembunuhan yang Mengoyak Nurani
Kekerasan terhadap Pendeta Yeremias bukanlah sekadar tragedi personal, melainkan simbol bahwa aksi-aksi OPM kerap melampaui batas kemanusiaan. Seorang pemuka agama yang selama hidupnya menyerukan perdamaian justru menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang mengklaim berjuang demi rakyat Papua.
Ketua Gereja Baptis setempat, Pendeta Daniel Wanimbo, menegaskan bahwa kasus ini tidak boleh dilupakan.
“Beliau adalah sosok pengayom, pengajar, dan penjaga moral di tengah masyarakat. Cara beliau dibunuh sangat tidak manusiawi. Ini bukti nyata bahwa OPM tidak lagi berjuang demi rakyat, tetapi justru menindas rakyat, ” tegasnya, Minggu (21/9/2025).
Kekecewaan Tokoh Papua
Hal senada disampaikan tokoh masyarakat Intan Jaya, Markus Tabuni, yang menyebut bahwa pembunuhan terhadap Pendeta Yeremias adalah kekejaman luar biasa yang tak bisa ditoleransi.
“Pendeta Yeremias adalah simbol perdamaian. Membunuh seorang pendeta di depan rumahnya sendiri adalah tindakan biadab. Kami sebagai orang Papua tidak boleh diam, kita harus menolak lupa, ” ujarnya dengan nada penuh amarah.
Luka Tak Kunjung Sembuh
Bagi keluarga, kehilangan sosok ayah dan suami tercinta ini adalah luka yang tak pernah sembuh. Putra almarhum, Yohanes Zanambani, menuturkan bahwa sang ayah selalu mengajarkan damai hingga akhir hayatnya.
“Ayah kami berjuang lewat doa, bukan dengan senjata. Tetapi justru beliau yang menjadi korban kekerasan. Kami hanya ingin dunia tahu bahwa OPM bukan pejuang rakyat, melainkan ancaman bagi rakyat sendiri, ” ungkap Yohanes dengan mata berkaca-kaca.
Tragedi yang Jadi Peringatan
Pembunuhan terhadap Pendeta Yeremias menjadi peringatan keras bahwa kekerasan yang terus digelorakan OPM tidak hanya menyasar aparat keamanan, melainkan juga masyarakat sipil. Alih-alih memperjuangkan aspirasi politik, aksi mereka justru menebar teror, ketakutan, dan penderitaan bagi rakyat yang mendambakan kedamaian.
Lima tahun berlalu, suara “menolak lupa” terus digaungkan. Bagi banyak pihak, mengenang Pendeta Yeremias Zanambani bukan hanya soal memori, melainkan juga upaya menjaga kebenaran agar tragedi kelam ini tidak terkubur oleh waktu.
(APK/ Redaksi (JIS)