OPINI - Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Barat baru saja merilis data resmi perkembangan ekonomi daerah untuk triwulan II 2025. Laporan ini memotret secara rinci kinerja perekonomian Sumbar dari berbagai sisi, mulai dari pertumbuhan PDRB, kontribusi sektor usaha, struktur pengeluaran, hingga posisi daya saing terhadap provinsi lain di Pulau Sumatera. Data ini bukan sekadar angka—ia merekam denyut nadi ekonomi, menampilkan kekuatan yang bisa dioptimalkan sekaligus kelemahan yang harus segera dibenahi.
Berikut disampaikan analisis Ekonomi Sumatera Barat Triwulan II 2025 dan proyeksi Triwulan III, versi Penulis.
Potret Ekonomi Sumatera Barat Triwulan II 2025
Perekonomian Sumatera Barat pada triwulan II 2025 mencatat pertumbuhan moderat sebesar 1, 52 persen dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan ini didorong oleh peran sektor jasa dan lonjakan belanja pemerintah yang signifikan menjelang paruh kedua tahun.
Namun, jika ditarik garis perbandingan secara tahunan, pertumbuhan 3, 94 persen justru menempatkan provinsi ini di posisi terbawah di Pulau Sumatera. Fakta ini menjadi sinyal bahwa daya saing ekonomi Sumatera Barat tertinggal dibandingkan daerah lain, sehingga memerlukan strategi percepatan yang lebih terarah dan berani.
Kinerja Agregat: Stabil tetapi Belum Memimpin.
Secara kumulatif semester I 2025 (c-to-c), gabungan kinerja triwulan I dan II menghasilkan pertumbuhan sebesar 4, 24 persen, relatif stabil namun masih di bawah rata-rata pertumbuhan Sumatera yang mencapai 4, 96 persen. Nilai PDRB harga berlaku berada pada kisaran Rp88, 26 triliun, sedangkan nilai PDRB harga konstan—yang mencerminkan ukuran ekonomi riil setelah penyesuaian inflasi—mencapai Rp51, 70 triliun.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa kapasitas ekonomi daerah masih relatif kecil, sehingga ruang fiskal dan daya dorong pasar belum setara dengan provinsi-provinsi besar seperti Riau atau Sumatera Utara.
Kontribusi Lapangan Usaha: Sektor Utama yang Tertatih
Struktur PDRB Sumatera Barat masih sangat bergantung pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dengan pangsa 21, 76 persen. Ironisnya, sektor ini justru mengalami kontraksi 1, 63 persen secara triwulanan. Penyebabnya bisa berasal dari faktor cuaca, fluktuasi harga komoditas, maupun distribusi hasil produksi yang kurang efisien. Ketika sektor terbesar menurun, dampaknya terasa luas pada perekonomian daerah.
Sektor perdagangan dan reparasi, dengan pangsa 16, 41 persen, tumbuh tipis 0, 57 persen, mencerminkan stagnasi daya beli masyarakat.
Sementara itu, sektor transportasi dan pergudangan tumbuh impresif 3, 65 persen berkat meningkatnya arus barang dan jasa logistik, didukung aktivitas perdagangan antarwilayah.
Konstruksi naik 2, 42 persen, terutama karena proyek infrastruktur yang sedang berjalan, walaupun keberlanjutannya bergantung pada kelancaran pendanaan dan penyelesaian proyek.
Industri pengolahan, yang idealnya menjadi penggerak ekonomi berbasis nilai tambah, justru terkontraksi 1, 59 persen. Kondisi ini menunjukkan lemahnya integrasi antara sumber daya alam lokal dengan proses industri.
Di sisi lain, sektor jasa menunjukkan kinerja menggembirakan. Jasa lainnya melonjak 14, 96 persen, disusul sektor informasi dan komunikasi yang naik 6, 67 persen, menandakan adanya peluang besar pada ekonomi digital dan industri kreatif.
Pengeluaran: Daya Beli Lesu, Investasi Mulai Menggeliat
Dari sisi penggunaan PDRB, konsumsi rumah tangga masih menjadi motor utama dengan kontribusi 51, 58 persen. Namun, komponen ini justru melemah 0, 15 persen, memperlihatkan bahwa daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya.
Sebaliknya, investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mencatat pertumbuhan positif 4, 40 persen, sejalan dengan geliat pembangunan fisik dan kepercayaan investor.
Ekspor luar negeri tumbuh 3, 50 persen, meski masih didominasi oleh komoditas mentah yang rentan terhadap fluktuasi harga global.
Konsumsi pemerintah melonjak hingga 20, 84 persen, menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan triwulan ini, namun sifatnya cenderung sementara.
Sementara itu, impor luar negeri meningkat tajam 64, 39 persen, menandakan ketergantungan yang besar terhadap barang dari luar daerah, sekaligus lemahnya kapasitas substitusi impor di sektor strategis.
Posisi Regional: Tertinggal dari Provinsi Lain di Sumatera
Bila dibandingkan dengan provinsi lain, kesenjangan pertumbuhan Sumatera Barat semakin nyata. Kepulauan Riau memimpin dengan pertumbuhan 7, 14 persen berkat kekuatan industri dan perdagangan internasional. Lampung berada di posisi kedua dengan 5, 09 persen yang didorong sektor pertanian dan industri pengolahan pangan. Sumatera Barat, dengan 3, 94 persen, berada di urutan terakhir.
Perbedaan ini tidak hanya mencerminkan variasi struktur ekonomi antarprovinsi, tetapi juga efektivitas kebijakan daerah dalam memanfaatkan potensi lokal.
Prediksi Triwulan III 2025: Peluang dan Tantangan
Melihat tren yang ada, proyeksi pertumbuhan triwulan III 2025 berada di kisaran 1, 0 hingga 1, 4 persen secara triwulanan, dengan kemungkinan mencapai 1, 8 persen jika berbagai faktor positif dapat dimaksimalkan.
Potensi pertumbuhan tertinggi berada pada sektor transportasi dan pergudangan, konstruksi, serta teknologi informasi dan komunikasi.
Pertanian diperkirakan masih menghadapi risiko tekanan dari cuaca dan harga komoditas yang tidak stabil.
Konsumsi rumah tangga diproyeksikan akan pulih secara perlahan, investasi terus menunjukkan arah positif, sementara konsumsi pemerintah cenderung kembali normal setelah lonjakan pada triwulan sebelumnya.
Namun, risiko penurunan juga nyata. Cuaca ekstrem, perlambatan serapan anggaran, dan lonjakan impor bahan baku berpotensi menggerus capaian.
Dengan struktur ekonomi yang masih bergantung pada komoditas mentah, perubahan harga di pasar global juga dapat berdampak signifikan terhadap Nilai tambah PDRB Sumatera Barat.
Metode Proyeksi: Perpaduan Tren Historis dan Analisis Kausal
Proyeksi ini menggunakan pendekatan akademis yang memadukan analisis tren historis dengan analisis kausal sektoral. Data pertumbuhan beberapa tahun terakhir dianalisis untuk menemukan pola musiman tiap sektor, lalu disesuaikan dengan variabel-variabel penentu terkini seperti kondisi iklim, harga komoditas, pergerakan arus barang, dan tingkat serapan belanja pemerintah. Pangsa kontribusi setiap sektor terhadap PDRB digunakan untuk menghitung dampak pertumbuhan sektoral terhadap total PDRB. Hasilnya kemudian disajikan dalam bentuk beberapa skenario—normal, optimistis, dan pesimistis—agar dapat memberikan gambaran rentang pertumbuhan yang mungkin terjadi.
Kesimpulan: Dari Mempertahankan Pertumbuhan ke Transformasi Struktural
Dari seluruh data dan analisis yang tersedia, terlihat jelas bahwa Sumatera Barat masih memiliki peluang besar untuk memperbaiki posisi ekonominya di tingkat regional. Kuncinya terletak pada penguatan sektor bernilai tambah, revitalisasi industri pengolahan berbasis sumber daya lokal, pemanfaatan potensi digital dan industri kreatif, serta penekanan ketergantungan pada impor bahan baku.
Pertumbuhan moderat yang terjadi pada triwulan II 2025 seharusnya menjadi titik awal untuk transformasi struktural yang lebih mendalam, bukan sekadar mempertahankan laju yang ada.
Dalam 90 hari ke depan, langkah cepat dalam hilirisasi, penguatan daya beli, dan peningkatan efisiensi logistik akan menentukan apakah Sumatera Barat mampu keluar dari posisi terbawah di Sumatera dan mulai menutup kesenjangan yang ada.
Oleh: Indra Gusnady