OPINI - Setiap nasi hangat di piring kita seharusnya membawa kebahagiaan sederhana. Perut kenyang, hati puas. Namun, kebahagiaan itu kerap berakhir tragis: makanan yang tersisa, tak tersentuh, berakhir menjadi sampah.
Di seluruh dunia, lebih dari satu miliar ton makanan dibuang setiap tahun. Dari restoran mewah hingga rumah tangga sederhana, sisa makanan mengalir tanpa henti. Cina, dengan 1, 4 miliar penduduk, menjadi penyumbang terbesar, diikuti India. Indonesia sendiri berada di posisi kelima, dengan 14, 73 juta ton makanan terbuang setiap tahun.
Di rumah kita, separuh sampah yang dihasilkan adalah sisa makanan. Sekitar 41% total sampah di Indonesia adalah makanan, jauh melampaui plastik yang kerap menjadi sorotan publik. Angka ini meningkat dari 11 juta ton pada 2020 menjadi 17 juta ton pada 2023.
Program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), meski bertujuan mulia, juga menambah timbunan sampah. Setiap penerima manfaat menghasilkan 50–100 gram limbah makanan per hari. Dengan 24 juta penerima saat ini, potensi timbunan sampah mencapai 2.400 ton per hari, atau 624.000 ton per tahun. Jumlah ini bisa meningkat seiring target Badan Gizi Nasional bagi 82, 9 juta penerima di masa depan.
Food waste bukan sekadar masalah lokal; ini krisis global yang memengaruhi ekonomi, iklim, dan kesejahteraan manusia. Dampaknya tidak hanya sosial. Sampah makanan menghasilkan gas metana—hidrokarbon yang 25 kali lebih kuat memicu pemanasan global dibanding karbon dioksida.
Tragedi TPA Leuwigajah 2005 menjadi pengingat tragis: longsoran sampah dan ledakan gas metana menewaskan lebih dari 140 orang.
Secara ekonomi, Indonesia merugi Rp551 triliun setiap tahun akibat makanan yang terbuang. Jika dikelola lebih baik, sampah makanan ini bisa cukup memberi gizi bagi 61–125 juta orang.
Tumpukan sampah tak berhenti di dapur. Produksi berlebihan, distribusi tidak efisien, standar pasar ketat, hingga program bantuan makanan yang belum dikelola optimal turut menyumbang.
Inisiatif seperti Gerakan Selamatkan Pangan dan Food Cycle Indonesia mencoba memutar balik tragedi ini: menyalurkan makanan layak konsumsi, mengolah limbah menjadi pakan ternak atau kompos, dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Kita bisa belajar dari Korea Selatan, yang berhasil mengolah 97% sampah makanannya menjadi energi dan kompos. Keberhasilan itu lahir dari pemilahan sejak rumah tangga dan kesadaran kolektif. Di Indonesia, target pengurangan sisa pangan hingga 50% pada 2030 menunggu langkah nyata dari setiap individu.
Saat ini, Indonesia menghadapi darurat sampah. Daerah-daerah harus mulai serius menangani masalah sampah, dari pengelolaan TPA hingga edukasi masyarakat. Namun, tanggung jawab tidak cukup hanya di pundak pemerintah daerah.
Setiap rumah tangga memiliki peran: mengelola sisa makanan, memilah sampah organik, dan menyalurkan makanan berlebih secara bertanggung jawab. Kesadaran bersama mutlak diperlukan, karena dampak sampah tidak mengenal batas wilayah—dampaknya terasa oleh kita semua, lingkungan dan generasi mendatang.
Perubahan besar dimulai dari langkah kecil di dapur kita sendiri: menakar porsi, menyimpan sisa makanan dengan benar, menyalurkan makanan berlebih, dan mendukung program pangan yang bertanggung jawab.
Sebab, di balik setiap suapan yang tersisa, ada dunia yang menunggu untuk diselamatkan.
Oleh: Indra Gusnady
















































