TEKNOLOGI - Sungguh sebuah pencapaian yang mencengangkan. Di tengah hiruk pikuk industri kecerdasan buatan yang terus berkembang pesat, sebuah startup bernama Groq berhasil mencuri perhatian dunia. Didirikan oleh Jonathan Ross, seorang eks-pegawai Alphabet, perusahaan induk Google, Groq telah membuktikan diri bukan sekadar pemain baru, melainkan kekuatan yang patut diperhitungkan. Bayangkan saja, hanya dalam kurun waktu satu tahun, startup ini telah melesat dengan valuasi fantastis mencapai US$6, 9 miliar, atau setara dengan Rp 113 triliun. Sebuah angka yang membuat saya pribadi terkesima.
Keberhasilan Groq ini bukan tanpa alasan. Mengutip laporan dari Reuters, perusahaan ini baru saja mengamankan pendanaan sebesar US$750 juta (sekitar Rp 12, 4 triliun). Suntikan dana segar ini dipimpin oleh perusahaan investasi terkemuka, Disruptive. Tak hanya itu, investasi signifikan juga mengalir dari nama-nama besar seperti Blackrock, Neuberger Berman, dan Deutsche Telekom Capital Partners. Kehadiran investor raksasa seperti Samsung, Cisco, D1, Altimeter, 1789 Capital, dan Infinitum semakin menegaskan kepercayaan pasar terhadap visi dan potensi Groq.
Jika kita melihat kembali, lonjakan valuasi ini sungguh impresif. Nilai Groq saat ini tercatat lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun lalu yang berada di angka US$2, 8 miliar (Rp 46, 3 triliun). Pada Agustus tahun sebelumnya, perusahaan ini juga berhasil mengumpulkan dana sebesar US$640 juta (Rp 10, 5 triliun). Data-data ini menunjukkan trajektori pertumbuhan yang luar biasa cepat, sebuah bukti nyata dari inovasi yang mereka tawarkan.
Lalu, apa sebenarnya yang diproduksi oleh Groq hingga mampu menarik begitu banyak perhatian dan investasi? Groq fokus pada pengembangan chip inferensi AI. Tujuannya jelas: mengoptimalkan model-model AI yang sudah dilatih sebelumnya. Jonathan Ross sendiri mengungkapkan visi perusahaannya dalam membangun infrastruktur berkecepatan tinggi dan berbiaya rendah di Amerika.
"Inferensi mendefinisikan era AI, dan kami tengah membangun infrastruktur Amerika yang menyediakan kecepatan tinggi dan biaya rendah, " jelasnya, sebuah pernyataan yang menggambarkan ambisi besar di balik teknologi mereka.
Tak hanya itu, Groq juga telah mendapatkan komitmen dana sebesar US$1, 54 miliar (Rp 25, 4 triliun) dari Arab Saudi pada Februari lalu. Dana ini secara spesifik akan dialokasikan untuk pengiriman chip mereka ke negara tersebut. Dengan dukungan finansial yang begitu kuat, Groq memperkirakan dapat meraup pendapatan sebesar US$500 juta (Rp 8, 2 triliun) untuk tahun ini.
Fenomena ini sejalan dengan tren yang diamati oleh Reuters, di mana industri chip secara keseluruhan mulai mengalihkan fokusnya pada perangkat keras yang dirancang khusus untuk inferensi AI. Sebelumnya, perhatian lebih banyak tertuju pada chip untuk proses pelatihan AI. Kini, dengan semakin matangnya teknologi AI, kebutuhan akan chip inferensi yang efisien menjadi krusial. Tak heran jika beberapa perusahaan besar, termasuk raksasa chip AI Nvidia, juga mulai ancang-ancang merilis produk serupa yang berfokus pada inferensi. (PERS)