SIMALUNGUN-Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partumpuan Pemangku Adat Budaya Simalungun (PPABS) menyatakan penolakan terhadap klaim tanah ulayat oleh Komunitas Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras).
Penegasan tersebut disampaikan Ketua Umum DPP Partumpuan Pemangku Adat Budaya Simalungun (PPABS) Jantoguh Damanik dihadapan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah dan Komunitas Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras). Rabu (24/9/2025),
Dalam pertemuan antara manajemen PT. Toba Pulp Lestari (TPL) dengan Komunitas Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras). Jantoguh Damanik juga menegaskan Simalungun tidak mengenal tanah adat,
“Tidak ada istilah tanah adat di Simalungun. Simalungun memiliki kerajaan yang terstruktur sejak masa Nagur hingga Maropat dan Marpitu dan tidak ada sejarah pemberian dan penyerahan tanah kepada pendatang, ”tegas Jantoguh Damanik dihadapan forum koordinasi pimpinan daerah.
Ketua Bidang Hukum PPABS, Hermanto Hamonangan Sipayung, SH, CIM, menyatakan bahwa pada tahun 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menegaskan bahwa belum ada penetapan resmi tanah ulayat atau masyarakat hukum adat (MHA) di wilayah Simalungun.
Penegasan itu berdasarkan surat resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bernomor S.211/PKTHA/PIAHH/PSL.7/2/09/2023 tertanggal 8 September 2023 yang dikirimkan kepada PPABS dan oknum masyarakat di Sihaporas.
Dalam surat tersebut, KLHK menegaskan bahwa pengakuan masyarakat hukum adat hanya dapat dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda) sesuai ketentuan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021.
Selain itu, dalam surat bernomor S.590/PSKL/PKTHA/PSL.1/3/2023 tertanggal 14 Maret 2023, KLHK juga menanggapi surat terbuka dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak yang membahas konflik berkepanjangan antara masyarakat Sihaporas dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada Perda yang menetapkan keberadaan masyarakat hukum adat Sihaporas, sehingga permohonan penetapan hutan adat belum dapat diproses lebih lanjut, ”terang Hermanto
Hermanto mendorong semua pihak untuk mengedepankan mekanisme resmi dalam memperjuangkan pengakuan MHA sesuai dengan prosedur undang-undang, bukan dengan klaim sepihak yang justru merugikan masyarakat Simalungun yang memiliki hak adat berdasarkan fakta sejarah.
“Fakta sejarah jelas, bahwa jikapun ada tanah adat di Simalungun, yang bisa mengklaim adalah pemilik sejarah asli Simalungun. Bukan orang yang melakukan klaim sepihak dan berusaha mengaburkan sejarah di Tano Habonaron Do Bona,
Orang yang melakukan klaim sepihak itu sudah melakukan pelanggaran HAM terhadap suku asli Simalungun. Jadi jangan memutarbalikkan fakta dengan menyebut mereka korban pelanggaran HAM, padahal kami warga suku asli Simalungun yang menjadi korban pelanggaran HAM mereka, ”tambahnya
Sementara Ketua Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), Mangitua Ambarita dalam pertemuan tersebut mengakui dulunya meraka berasal dari Samosir dan merupakan bagian dari kelompok marga Naimarata,
“Oppung kami, Ompu Mamontang Laut Ambarita sekitar tahun 1800-an, merantau ke Sihaporas, lalu mendapat sebidang tanah, ”kata Ketua Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) Mangitua Ambarita.
Mangitua Ambarita dalam pertemuan dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah bersama Partumpuan Pemangku Adat Budaya Simalungun dan manajemen PT Toba Pulp Lestari (TPL) menyampaikan bahwa leluhur mereka sudah bermukim di Sihaporas sejak 1800-an,
“Leluhur kami, Ompu Mamontang Laut Ambarita sebagai Tuan Sihaporas juga telah membuat sumpah-janji batas tanah dengan Raja Siantar Damanik. Kami sudah turun-temurun hidup di wilayah Sipolha jauh sebelum kehadiran perusahaan PT. Inti Indorayon Utama, ”kata Mangitua,