RIAU - Anggota Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Siruaya Utamawan, menekankan betapa krusialnya pemahaman mendalam mengenai hak jaminan kesehatan bagi para pekerja di sektor perkebunan dan kehutanan. Ia menyampaikan pandangannya dalam sebuah diskusi penting yang bertajuk “Manfaat BPJS Kesehatan bagi Pekerja Perkebunan dan Kehutanan”. Acara ini merupakan bagian dari Konsolidasi Nasional Serikat Pekerja Perkebunan dan Kehutanan (SPPK) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang diselenggarakan di Pekanbaru, Riau, pada Sabtu, 27 September 2025.
Diskusi yang berlangsung hingga 28 September ini dihadiri oleh jajaran pemimpin serikat pekerja terkemuka, termasuk Ketua Umum PP SPPK Nani Kusmaeni, Sekjen FSPMI Sabilar Rosyad, dan Ketua DPW FSPMI Riau Satria Putra. Pihak BPJS Kesehatan juga turut hadir, diwakili oleh Kepala Cabang Pekanbaru dr. Muhammad Fakhriza dan Asisten Deputi Kepesertaan Kedeputian Wilayah II Rizka Adhiati.
Dalam pidato pembukaannya, Siruaya Utamawan memberikan suntikan semangat kepada para peserta dengan menggarisbawahi peran vital sektor perkebunan dan kehutanan sebagai pilar masa depan bangsa. “Jangan pernah merasa kecil. Kontribusi bapak dan ibu sangat nyata bagi negara, termasuk dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), ” ujarnya dengan penuh keyakinan. Ia menambahkan bahwa serikat pekerja memegang peranan kunci sebagai wadah perjuangan untuk merebut hak-hak normatif, termasuk hak atas jaminan sosial.
Memasuki sesi diskusi yang lebih mendalam, Siruaya memaparkan data menarik mengenai cakupan kepesertaan JKN. Ia menyebutkan bahwa per 1 September 2025, kepesertaan JKN secara nasional telah menyentuh angka 99, 14%. Khusus untuk Provinsi Riau, tingkat kepesertaan tercatat sebesar 98%, dengan tingkat keaktifan mencapai 79%. “Sedikit lagi, jika bisa mencapai 80%, Riau bisa mendapatkan status Universal Health Coverage (UHC) prioritas, di mana pendaftaran PBPU Pemda bisa langsung aktif di hari yang sama, ” jelasnya. Ia juga mengajak para pekerja untuk merasa bangga, sebab segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) menjadi satu-satunya segmen yang rasio klaimnya masih di bawah 100%, alias surplus. “Secara tidak langsung, teman-teman pekerja turut mensubsidi segmen peserta lainnya. Inilah esensi gotong royong, ” tegas Siruaya.
Lebih jauh, ia memberikan klarifikasi penting terkait persepsi umum mengenai iuran JKN. Menurut pandangannya, kontribusi riil pekerja sebenarnya adalah 5?ri upah, bukan hanya 1%. “Dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018, iuran ditetapkan 5?ri upah. Meskipun 4% dibayarkan pemberi kerja, itu adalah bagian dari penghasilan kita yang tercantum di slip gaji atau SPT. Jadi, tidak ada alasan bagi pengusaha untuk tidak membayarkannya, ” paparnya dengan lugas.
Menyadari tingginya risiko kesehatan yang kerap dihadapi di lingkungan kerja perkebunan dan kehutanan, Siruaya menekankan konsekuensi kerugian yang sangat besar jika para pekerja tidak terdaftar dalam program JKN. Ia juga mengingatkan bahwa BPJS Kesehatan lahir dari perjuangan kaum buruh dan senantiasa membuka diri terhadap kritik serta masukan demi perbaikan layanan yang berkelanjutan.
Sesi diskusi ini menjadi momen berharga bagi perwakilan serikat pekerja dari berbagai daerah untuk menyuarakan aspirasi dan kendala yang mereka hadapi di lapangan. Satria Putra, Ketua DPW FSPMI Riau, secara khusus menyoroti pentingnya sinergi antara BPJS Kesehatan dan serikat pekerja dalam mengadvokasi hak-hak pasien. Ia mencontohkan sebuah kasus di mana pasien baru bisa mendapatkan rujukan setelah adanya desakan dari relawan Jamkeswatch, padahal seharusnya hal tersebut menjadi prosedur standar yang dijalankan oleh rumah sakit.
Sementara itu, Yudi Kurnia dari DPW Sumatera Barat menyampaikan keluhan mengenai adanya fasilitas kesehatan yang memberlakukan pembatasan layanan JKN hanya hingga pukul 12 siang, dan setelahnya mengenakan biaya umum. Dari Bengkulu, John Suhemi melontarkan pertanyaan krusial mengenai mekanisme perlindungan kesehatan bagi pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Menanggapi berbagai masukan yang disampaikan, Kepala Cabang BPJS Kesehatan Pekanbaru, dr. Muhammad Fakhriza, memberikan sejumlah penjelasan dan solusi konkret. “Kami siap bersinergi dengan serikat pekerja. Jika ada perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya, laporkan kepada kami untuk ditindaklanjuti hingga ke Wasnaker atau kejaksaan, ” jawab dr. Fakhriza dengan tegas.
Terkait isu ketersediaan kamar dan penolakan pasien, ia mengakui bahwa terkadang ada oknum fasilitas kesehatan yang bertindak tidak sesuai aturan. Sebagai solusi, peserta diimbau untuk segera menghubungi petugas BPJS Satu yang nomor kontaknya tertera di poster yang ada di setiap rumah sakit mitra. Petugas ini akan membantu menyelesaikan kendala layanan di tempat.
Menjawab keluhan mengenai pembatasan jam layanan, dr. Fakhriza menegaskan bahwa kebijakan BPJS Kesehatan untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) mitra adalah memberikan layanan minimal 7 jam per hari. “Laporkan jika ada yang kurang dari itu. Faskes dengan peserta terdaftar di atas 15 ribu bahkan akan kami wajibkan buka 24 jam, ” tambahnya.
Untuk kasus PHK, dr. Fakhriza menjelaskan bahwa pekerja berhak atas jaminan kesehatan selama 6 bulan tanpa perlu membayar iuran. Syaratnya, pekerja harus melaporkan status PHK-nya dan melampirkan surat keterangan dari Dinas Ketenagakerjaan.
Terakhir, ia mengingatkan seluruh peserta untuk tidak pernah ragu menolak membayar biaya layanan jika sudah sesuai dengan prosedur dan indikasi medis. “Terkadang memang kita panik saat keluarga sakit di RS, tapi juga harus berpikiran jernih. Jangan sampai tanda tangan, sebenarnya tidak meminta, tetapi jadi seakan-akan meminta. Jika diminta membayar padahal tidak ada permintaan, itu termasuk fraud. Segera adukan ke kami, ” pungkasnya dengan nada serius.***