Pemerintah Presiden Prabowo mengambil langkah strategis dalam kebijakan fiskal 2026 dengan menerapkan belanja perpajakan, sebuah mekanisme insentif atau fasilitas perpajakan yang ditujukan bagi masyarakat. Namun, berbeda dari lima tahun sebelumnya yang cenderung ekspansif, kali ini pemerintah memilih pendekatan yang lebih terukur.
Bagi negara, belanja perpajakan sejatinya adalah penerimaan negara yang hilang atau tertahan akibat adanya ketentuan khusus yang menyimpang dari sistem pemajakan umum. Ini adalah pengorbanan finansial demi tujuan ekonomi yang lebih luas.
Pada tahun anggaran 2026, target belanja perpajakan diproyeksikan mencapai Rp 563, 6 triliun. Angka ini menunjukkan pertumbuhan sebesar 6, 3% jika dibandingkan dengan rencana belanja perpajakan tahun 2025 yang sebesar Rp 530, 3 triliun. Angka pertumbuhan ini adalah yang paling moderat dalam lima tahun terakhir, sebuah penanda kehati-hatian dalam pemberian insentif.
Sebagai perbandingan, pada tahun 2021, belanja perpajakan tumbuh pesat 25, 7% menjadi Rp 293 triliun. Kemudian disusul pertumbuhan 12, 1% pada 2022 (Rp 328, 5 triliun), 9, 6% pada 2023 (Rp 360 triliun), 11, 1% pada 2024 (Rp 400, 1 triliun), dan melonjak 32, 5% pada 2025 (Rp 530, 3 triliun).
Dokumen Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun Anggaran 2026, yang dirilis pada Selasa (19/8/2025), menjelaskan bahwa peningkatan nilai belanja perpajakan ini sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi.
Dari sisi jenis pajak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) masih menjadi kontributor terbesar dalam belanja perpajakan 2026, dengan estimasi mencapai Rp 371, 9 triliun. Disusul oleh Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp 160, 1 triliun, bea masuk dan cukai sebesar Rp 31, 1 triliun, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) P5L sebesar Rp 100 miliar, serta Bea Meterai senilai Rp 400 miliar.
Melihat ke belakang pada tahun 2024, pemerintah telah memberikan berbagai bentuk insentif PPN. Contohnya adalah pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok dan hasil perikanan serta kelautan. Selain itu, pengusaha kecil dengan omzet tahunan tidak melebihi Rp 4, 8 miliar dibebaskan dari kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN.
Insentif PPh juga beragam, mencakup pemberian fasilitas PPh final untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta pembebasan PPh atas dividen yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri. Fasilitas lain seperti *tax holiday*, *tax allowance*, dan penurunan tarif PPh bagi perusahaan terbuka juga menjadi bagian dari strategi PPh.
Jika dikategorikan berdasarkan sektor perekonomian, pada tahun 2024, sektor industri pengolahan menjadi penerima manfaat terbesar belanja perpajakan, dengan total pemanfaatan mencapai Rp 98, 88 triliun atau sekitar 24, 7?ri keseluruhan. Alokasi ini sebagian besar dinikmati oleh industri untuk pengusaha dengan omzet di bawah Rp 4, 8 miliar, serta pembebasan Bea Masuk untuk Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan barang modal.
Posisi kedua ditempati oleh sektor 'Lainnya' yang menyerap 12, 5?ri total belanja perpajakan, dengan mayoritas manfaat berupa pembebasan PPh atas dividen bagi wajib pajak dalam negeri. Sektor pertanian, kehutanan, dan perkebunan, serta sektor jasa keuangan dan asuransi menyusul dengan persentase masing-masing 12, 3?n 11, 4?ri total belanja perpajakan.
Untuk tahun 2026, pemerintah telah mengalokasikan manfaat belanja perpajakan untuk berbagai sektor ekonomi. Sektor mana saja yang akan menjadi prioritas utama masih menjadi perhatian publik.