OPINI - Gelombang penghapusan tenaga honorer atau Tenaga Harian Lepas (THL) yang melanda Sumatera Barat bukan semata kebijakan teknis dari pemerintah daerah. Ini adalah implementasi dari agenda besar reformasi birokrasi nasional yang tak lagi dapat ditunda.
Melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara dan sebelumnya Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018, Pemerintah Pusat mengatur bahwa seluruh pegawai non-ASN yang masih bekerja di instansi pemerintahan harus dituntaskan paling lambat Desember 2024.
Bersamaan dengan itu, kebijakan efisiensi fiskal juga ditegakkan. Pemerintah menargetkan bahwa mulai 2027, belanja pegawai dalam APBD setiap daerah maksimal hanya 30 persen dari total anggaran.
Maka tak ada lagi ruang legal untuk mempertahankan THL yang tidak lolos seleksi atau tak terdaftar dalam database resmi Badan Kepegawaian Negara (BKN). Penataan ini bukan hanya menyangkut efisiensi anggaran, tapi juga profesionalitas dan disiplin birokrasi.
Direktur Utama BKN, Zudan Arif Fakrulloh, dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa tenaga honorer yang tidak tercatat secara resmi di database nasional tidak bisa lagi diperpanjang kontraknya. “Yang akan diproses hanya yang masuk dalam database BKN. Honorer di luar itu tidak memiliki dasar hukum untuk dipekerjakan kembali, ” tegasnya.
Hal senada disampaikan oleh MenPAN-RB, Rini Widyantini. Ia menyebut bahwa penataan tenaga honorer adalah arahan Presiden yang bertujuan memperkuat birokrasi yang ramping namun berdampak. “Kita ingin birokrasi yang tidak gemuk tapi efektif. Banyaknya jumlah pegawai belum tentu mencerminkan kinerja. Kita perlu menggeser orientasi birokrasi dari sekadar jumlah menjadi kualitas, ” katanya dalam konferensi pers pada Juli 2025 lalu.
Realitas di lapangan pun menguatkan bahwa kebijakan ini bukan sekadar ancaman administratif, tapi sudah dan sedang berjalan. Di Kota Padang Panjang, mulai 1 Agustus 2025, sebanyak 190 honorer yang tidak lulus seleksi PPPK atau tidak terdata resmi harus dirumahkan. Langkah ini diambil setelah pemko melakukan evaluasi menyeluruh terhadap status kepegawaian sesuai surat edaran dari KemenPAN-RB dan BKN. Walau pahit, kebijakan ini dianggap sebagai bentuk ketaatan terhadap aturan nasional.
Kondisi serupa terjadi di Kota Bukittinggi. Wali Kota Ramlan Nurmatias mengaku tidak punya pilihan lain selain merumahkan 947 THL di lingkup pemerintahan kota. "Kami memahami ini berat bagi semua, tapi sebagai pemerintah daerah, kami terikat aturan pusat. Kalau tidak kami jalankan, akan menyalahi regulasi dan berisiko hukum, " ujarnya.
Di Padang, hingga pertengahan 2025, lebih dari 2.800 SK PPPK telah diserahkan kepada tenaga honorer yang lulus seleksi. Namun masih banyak honorer lama yang tidak tertampung karena formasi terbatas atau tersisih oleh pelamar dari luar daerah. Beberapa guru dan tenaga administrasi mengaku kecewa, terutama yang telah mengabdi lebih dari satu dekade.
Kota Solok dan Sawahlunto pun menyatakan telah mempersiapkan transisi tanpa THL. Kepala BKPSDM Kota Solok menyebut bahwa seluruh tenaga non-ASN yang tidak terakomodasi melalui seleksi formal akan dihentikan paling lambat akhir tahun ini.
Kota Payakumbuh, Sijunjung, Tanah Datar, Agam, hingga Solok Selatan pun dalam proses penataan, beberapa bahkan telah menyurati KemenPAN-RB untuk meminta pengecualian atau kebijakan transisi yang lebih manusiawi.
Namun terlepas dari beban dan polemik yang muncul, satu hal yang perlu ditegaskan: tanggung jawab menyelesaikan dampak penghapusan honorer tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah daerah. Ini saatnya semua pihak — pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat — bergerak bersama. Solusi tidak akan lahir dari keluhan, tapi dari aksi nyata.
Sumatera Barat adalah provinsi yang kaya potensi. Dari pertanian, perikanan, pariwisata, ekonomi kreatif, hingga teknologi digital, peluang terbuka di berbagai sektor. Banyak mantan honorer memiliki keterampilan yang bisa diarahkan ke wirausaha atau kerja mandiri. Pemerintah daerah perlu mengalihkan sebagian anggaran dari belanja honorarium ke pelatihan vokasi, inkubasi bisnis lokal, hingga digitalisasi UMKM.
Contohnya ada di Limapuluh Kota. Seorang eks-honorer yang sebelumnya bekerja sebagai tenaga kebersihan kini sukses memasarkan keripik balado secara daring. Ia memanfaatkan media sosial dan platform e-commerce lokal untuk menjangkau konsumen. Penghasilannya kini lebih besar dibanding saat masih menerima honor bulanan.
Di sisi lain, dunia usaha mesti mengambil bagian lebih aktif. BUMD, koperasi, perguruan tinggi, dan pelaku usaha swasta bisa menciptakan program pelatihan kerja, magang, hingga penyediaan modal mikro. Kemitraan antara pengusaha dan eks-honorer bisa menjadi jembatan transisi yang produktif.
Di sinilah pentingnya perubahan cara pandang. Menjadi ASN bukan satu-satunya jalan hidup. Honorer bukan status abadi yang harus dipertahankan, tapi masa transisi menuju kemandirian. Masyarakat harus keluar dari pola pikir menggantungkan hidup pada status ASN. Saatnya membangun ekonomi lokal, dengan semangat gotong royong dan keberanian berwirausaha.
Kepala daerah di Sumatera Barat pun berharap agar pusat lebih fleksibel memberi ruang transisi. Namun, mereka juga sadar bahwa waktu tidak bisa dihentikan. Jika tidak segera ada gerak bersama dari seluruh elemen, maka bukan hanya THL yang kehilangan pekerjaan, tapi juga daerah yang kehilangan potensi produktif.
Hampir semua Kepala Daerah mengeluh, mereka berada pada kondisi yang dilematis. Disatu sisi tidak ingin ada PHK tapi disisi lain ada Undang Undang dan aturan pelaksananya yang harus dijalankan. Jika tidak, akan bisa jadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan APH karena melanggar aturan hukum.
Banyak netizen ataupun penggerak sosmed yang mengeluhkan, bahkan menyalahkan kepala daerah yang baru. Padahal, aturan sudah lama dikeluarkan dan tahun ini puncak kewajiban memperlakukannya di daerah sesuai amanat Undang-Undang dan aturan pelaksananya. Mengkritisi, mencaci-maki, menyalahkan, berlagak menjadi "pahlawan kesiangan" gak ada gunanya dan tidaklah bijak pada saat ini.
Reformasi ASN adalah keharusan. Tapi dampaknya harus diantisipasi bersama. Ketika birokrasi tertata dan masyarakat berdaya, Sumatera Barat akan berdiri sebagai provinsi yang tidak hanya hemat anggaran, tapi juga kaya inovasi. Mari keluar dari zona nyaman dan zona ketergantungan.
Saatnya masuk ke era baru: masyarakat pekerja, masyarakat mandiri, dan masyarakat pencipta peluang. Saatnya untuk mengerahkan segala upaya untuk bisa menciptakan lapangan kerja. Kolaborasi bersama antara Pemda, dunia swasta, Perguruan Tinggi, stakeholder dan masyarakat. Dibalik kesulitan akan akan ada kemudahan diberikan yang Kuasa. sebagai orang yang beragama kita percaya itu.
Oleh: Indra Gusnady, SE, M.Si