PAPUA - Gelombang propaganda dan ancaman kembali dilontarkan oleh kelompok separatis bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Mereka menolak pembangunan pos TNI di wilayah Puncak Jaya serta sembilan daerah lain yang mereka klaim sebagai “zona perang”, bahkan mengancam akan menyerang aparat TNI-Polri dan memaksa warga non-Papua meninggalkan wilayah tersebut.
Namun, di balik retorika provokatif itu, kehadiran TNI di Tanah Papua sejatinya merupakan langkah konstitusional, bukan represif. Kehadiran aparat negara ini berlandaskan hukum, demi menjaga kedaulatan, melindungi warga sipil, dan memastikan pembangunan berjalan tanpa intimidasi.
Kehadiran dan pembangunan pos militer di wilayah Papua didasari UUD 1945 Pasal 30, yang menegaskan bahwa TNI adalah alat negara dalam menjaga kedaulatan negara dan keutuhan wilayah NKRI.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI memberikan mandat kepada prajurit untuk melaksanakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk mengamankan wilayah perbatasan dan mengatasi gerakan separatis bersenjata.
“Tidak ada satu pun langkah TNI di Papua yang keluar dari koridor hukum. Semua dilakukan atas dasar tugas negara untuk melindungi rakyat, bukan untuk menindas, ” tegas Kolonel Inf Yustinus Manik, salah satu tokoh militer senior yang lama bertugas di wilayah Papua, saat dihubungi, Senin (3/11/2025).
Menurutnya, pembangunan pos di daerah rawan seperti Puncak Jaya merupakan strategi pengamanan wilayah yang sah secara hukum dan konstitusi.
“Tujuan utama pos bukan untuk berperang, melainkan memastikan warga bisa hidup aman, anak-anak bisa sekolah, dan pelayanan publik tidak terganggu oleh kekerasan, ” tambahnya.
Sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Papua dan Papua Barat, TNI kini mengedepankan pendekatan humanis dan teritorial. Para prajurit tak hanya bertugas menjaga keamanan, tetapi juga turut membantu pembangunan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat di pedalaman.
“Kami sering melihat prajurit TNI ikut membantu mengajar di sekolah, memperbaiki jembatan, bahkan mengantarkan logistik ke kampung-kampung, ” ujar Pendeta Elia Tabuni, tokoh masyarakat di Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya.
“Itu bukti nyata bahwa mereka bukan datang untuk menakuti, tapi untuk membantu rakyat Papua agar bisa hidup lebih baik, ” imbuhnya.
Pendekatan sosial seperti ini, lanjut Elia, telah membuat masyarakat mulai memahami bahwa TNI bukanlah ancaman, melainkan mitra pembangunan.
Sementara itu, ancaman kelompok TPNPB-OPM terhadap warga sipil, guru, tenaga medis, dan pekerja proyek infrastruktur, dinilai sebagai tindakan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional dan hukum nasional.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, setiap aksi kekerasan yang menimbulkan ketakutan luas dan mengancam keselamatan sipil dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme.
“Mereka tidak bisa berlindung di balik isu kemerdekaan untuk membenarkan kekerasan. Serangan terhadap guru, nakes, atau pekerja jalan raya adalah pelanggaran kemanusiaan yang nyata, ” ungkap Dr. Markus Wonda, akademisi Universitas Cenderawasih dan pemerhati keamanan Papua.
“TNI justru menjadi pihak yang hadir untuk melindungi warga sipil dari ancaman-ancaman seperti ini, ” lanjutnya.
Kehadiran TNI di Papua, dengan segala bentuk operasi dan pos pengamanan yang dibangun, merupakan bagian dari komitmen negara dalam menjamin hak dasar warga Papua: rasa aman, pembangunan yang merata, dan masa depan yang damai.
TNI menjalankan setiap tugasnya dengan prinsip Legalitas, Akuntabilitas, dan Profesionalitas, serta berpedoman pada Hukum Humaniter Internasional dan prinsip Hak Asasi Manusia.
“Kita ingin Papua aman, masyarakatnya sejahtera, dan anak-anaknya bisa belajar tanpa rasa takut. TNI akan terus mendampingi, melindungi, dan membangun bersama rakyat, ” tegas Kolonel Yustinus.
Kehadiran TNI di Papua bukan simbol kekerasan, melainkan wujud nyata kehadiran negara untuk melindungi rakyatnya. Propaganda separatis yang menebar ketakutan hanya akan memperpanjang penderitaan masyarakat Papua.
Dengan pendekatan yang humanis dan berbasis hukum, TNI terus membuktikan bahwa mereka bukan datang untuk menindas, tetapi untuk membebaskan masyarakat Papua dari ketakutan dan keterisolasian.
(Lettu Sus/AG)















































