JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak berhenti mengusut tuntas dugaan praktik korupsi yang menggerogoti dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) dari APBD Jawa Timur (Jatim) periode 2019-2022. Upaya pemberantasan rasuah ini terus digencarkan dengan memeriksa sejumlah saksi kunci.
Rabu (23/7/2025), sejumlah kepala desa kembali diperiksa intensif sebagai saksi. Pemeriksaan ini dilakukan di Polres Lamongan. Para saksi yang diperiksa adalah Mulyono (Kepala Desa Menongo), Moh. Lasmiran (Kepala Desa Sukolilo), Setiawan Hariyadi (Kepala Desa Banjargandang), H Sulkan (Kepala Desa Gedangan), Moh. Yusuf (Kepala Desa Daliwangun), dan Suyitno (swasta).
"Hari ini, Rabu (23/7), KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dugaan tindak pidana korupsi terkait Pengurusan Dana Hibah untuk Kelompok Masyarakat (Pokmas) dari APBD Provinsi Jatim, " terang jubir KPK, Budi Prasetyo, kepada wartawan, Rabu (23/7/2025).
KPK menemukan indikasi kuat adanya penyimpangan dalam pengelolaan dana hibah di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Minimnya transparansi menjadi sorotan utama dalam kasus ini. KPK mengendus adanya praktik verifikasi penerima hibah yang tidak profesional, sehingga memunculkan pokmas fiktif dan duplikasi penerima. Bayangkan, 757 rekening terindikasi memiliki kesamaan identitas mencurigakan!
"KPK mengidentifikasi sejumlah titik rawan penyimpangan dalam pengelolaan hibah, antara lain: Verifikasi penerima hibah tidak profesional, sehingga masih ditemukan pokmas fiktif dan duplikasi penerima. Tercatat 757 rekening dengan kesamaan identitas (nama, tanda tangan, dan NIK), " kata jubir KPK, Budi Prasetyo, kepada wartawan, Senin (21/7).
Provinsi Jawa Timur mengelola dana hibah yang jumlahnya fantastis, mencapai Rp 12, 47 triliun untuk periode 2023-2025, dengan lebih dari 20 ribu lembaga penerima. Dana sebesar ini seharusnya disalurkan untuk sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pemberdayaan masyarakat.
Namun, fakta mencengangkan lainnya adalah adanya dugaan pengaturan jatah hibah oleh pimpinan DPRD yang membuka celah penyalahgunaan anggaran. Tak hanya itu, dana hibah diduga dipotong oleh koordinator lapangan (korlap) hingga 30 persen. Sungguh ironis!
"Pemotongan dana hibah hingga 30% oleh koordinator lapangan, terdiri dari 20% untuk 'ijon' kepada anggota DPRD dan 10% untuk keuntungan pribadi, " ucapnya.
Hingga saat ini, KPK telah menetapkan 21 tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat APBD Jatim tahun 2019-2022. Penetapan tersangka ini merupakan pengembangan dari perkara yang menjerat mantan Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua Simanjuntak.
"Kami sampaikan bahwa pada tanggal 5 Juli 2024 KPK menerbitkan sprindik terkait dugaan adanya TPK dalam pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat atau Pokmas dari APBD Provinsi Jatim tahun anggaran 2019 sampai dengan 2022, " kata jubir KPK saat itu, Tessa Mahardhika, di gedung Merah Putih KPK, Jakarta, 12 Juli 2024.
Dari 21 tersangka yang ditetapkan, empat di antaranya adalah penerima suap (penyelenggara negara), sementara 17 lainnya adalah pemberi suap (15 pihak swasta dan 2 penyelenggara negara). KPK terus mendalami peran masing-masing tersangka dan aliran dana haram tersebut.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Bagaimana mungkin dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat justru dikorupsi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab? Kita berharap KPK dapat mengungkap tuntas kasus ini dan menyeret semua pelaku ke pengadilan agar mendapatkan hukuman yang setimpal. Masyarakat Jawa Timur pun menanti keadilan ditegakkan. (Wajah Koruptor)