JAKARTA - Di antara riuhnya gemerlap ibukota, berdiri tegak sebuah institusi pendidikan yang telah menemani sejarah bangsa selama puluhan tahun. Universitas Tarumanagara (Untar), sebuah nama yang tak asing lagi di telinga para pencari ilmu, bukan sekadar kampus besar di Jakarta, melainkan salah satu perguruan tinggi swasta paling bersejarah di Indonesia. Sejak tahun 1959, Untar telah melahirkan ribuan alumni yang tersebar di berbagai bidang keahlian, mulai dari koridor keadilan hukum, denyut nadi ekonomi, hingga kecanggihan teknologi informasi dan panggilan mulia kedokteran.
Dua kampus utama Untar yang berlokasi strategis di Jakarta Barat, tepatnya di Jalan Letjen S. Parman, Grogol, dan Jalan Tanjung Duren Utara, menjadi saksi bisu perjalanan panjangnya. Namun, di balik megahnya bangunan kampus, terdapat sebuah entitas yang menaungi seluruh operasionalnya: Yayasan Tarumanagara. Yayasan ini tidak hanya mengelola pendidikan, tetapi juga merambah ke sektor kesehatan melalui Rumah Sakit Royal Taruma, serta merambah dunia bisnis properti dengan Untar Residence dan PT Taruma Bhakti Usaha.
Menariknya, Yayasan Tarumanagara bukanlah milik satu individu atau keluarga semata. Ia lahir dari gagasan kolektif sekelompok tokoh penting yang bersatu padu pada tahun 1959, dengan susunan pengurus yang dipilih secara berkala. Inisiatif pendirian universitas ini sejatinya berakar dari tahun 1957, ketika sekelompok tokoh sosial yang tergabung dalam Perhimpunan Sosial Candra Naya, yang kala itu masih bernama Sin Ming Hui, mulai merajut mimpi.
Atas dorongan Kwee Hwat Djien, Yayasan Tarumanagara resmi berdiri pada 18 Juni 1959. Nama 'Taruma Negara' pun dipilih, terinspirasi dari salah satu kerajaan tertua di bumi pertiwi, menyiratkan sebuah harapan akan kejayaan dan warisan panjang. Lembaga pendidikan pertama yang lahir dari yayasan ini adalah Perguruan Tinggi Ekonomi Tarumanagara, dengan Jurusan Ekonomi Perusahaan sebagai pelopornya.
Perkuliahan perdana dimulai pada 15 Oktober 1959 di Gedung Candra Naya, Jalan Gajah Mada 188. Kala itu, estafet kepemimpinan diemban oleh Kho Oen Bik sebagai dekan, didampingi oleh Lo Kiem Tjing sebagai wakil dekan. Seiring berjalannya waktu, Untar terus berinovasi. Pada 1 Oktober 1962, sebuah tonggak sejarah baru ditorehkan dengan berdirinya Sekolah Kejuruan Teknik Arsitektur, yang kelak berkembang menjadi Fakultas Teknik dengan jurusan Arsitektur, dan diakui sebagai salah satu jurusan arsitektur swasta tertua di Indonesia.
Langkah ekspansif Untar berlanjut pada 1 Oktober 1965, ketika Fakultas Kedokteran dibuka, melengkapi spektrum pendidikan dengan Program Studi S1 Pendidikan Dokter dan Profesi Dokter. Namun, perjalanan ini tak selalu mulus. Dinamika politik nasional, khususnya peristiwa G30S pada tahun 1966, sempat mengganggu kelancaran aktivitas perkuliahan di beberapa fakultas. Bahkan, jurusan bahasa-bahasa modern seperti Bahasa Inggris terpaksa ditutup sementara, dengan mahasiswanya dialihkan ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Titik balik yang membawa Untar menapaki tangga popularitas sebagai salah satu kampus swasta ternama di Tanah Air terjadi pada tahun 1967. Yayasan Taruma berhasil menyelesaikan pembangunan gedung kampus baru di Jalan S. Parman, Jakarta Barat. Sejak saat itu, Untar terus menorehkan jejak perkembangan yang signifikan, terutama pada dekade 1990-an.
Saat ini, estafet kepemimpinan Yayasan Tarumanegara berada di tangan Ariawan Gunadi. Namanya bukan hanya dikenal di kalangan akademisi, tetapi juga di dunia penelitian hukum. Ariawan Gunadi pernah mencatat rekor sebagai profesor dan guru besar termuda di bidang hukum bisnis Indonesia versi rekor MURI pada usia 38 tahun. Sebelumnya, pria kelahiran 19 Maret 1985 ini juga meraih gelar Doktor termuda di Universitas Indonesia (UI) pada usia 27 tahun dengan predikat cumlaude, sebuah pencapaian luar biasa yang mencerminkan dedikasi dan kecemerlangan intelektualnya. (PERS)














































