JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mempertegas larangan bagi menteri dan wakil menteri untuk merangkap jabatan kembali memicu perdebatan sengit. Ketua MPR Ahmad Muzani justru menyatakan bahwa larangan tersebut hanya sebatas pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019, dan bukan merupakan keputusan yang mengikat. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen pemerintah terhadap supremasi hukum.
Bukankah pertimbangan hukum menjadi fondasi dari sebuah putusan? Bagaimana mungkin sebuah putusan bisa diabaikan hanya karena dianggap sebagai 'pertimbangan' belaka?
"Tidak ada kewajiban untuk dilaksanakan karena itu pertimbangan untuk sebuah keputusan, tapi keputusannya tidak begitu. Itu kan bukan keputusan, tapi itu pertimbangan, " ujar Muzani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (23/7/2025).
Muzani menegaskan bahwa pertimbangan hukum MK bukanlah keputusan yang mengikat, sehingga pemerintah tidak berkewajiban untuk melaksanakannya.
"Itu sebenarnya bukan larangan. Bukan larangan karena bukan (amar) keputusan (MK). Tapi, MK memberi pertimbangan, " ujar Sekretaris Jenderal Partai Gerindra itu.
Di sisi lain, anggota Komisi II DPR Muhammad Khozin justru mendesak para wakil menteri untuk secara sukarela mengundurkan diri dari jabatan komisaris di BUMN. Khozin berpendapat bahwa Putusan MK sudah jelas melarang rangkap jabatan.
"Para wakil menteri dengan sukarela dapat mengajukan pengunduran diri dengan memilih salah satu jabatan yang dijabat saat ini; posisi wakil menteri atau komisaris, " ujar Khozin saat dihubungi, Jumat (18/7/2025).
Khozin juga menekankan bahwa Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019 harus menjadi pedoman bagi Menteri BUMN Erick Thohir dalam menunjuk komisaris di perusahaan-perusahaan plat merah. Menurutnya, posisi menteri dan wakil menteri setara, sehingga keduanya dilarang untuk merangkap jabatan.
"Pertimbangan mahkamah dalam Putusan MK No 21/2025 atas uji materi UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara merujuk putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang isinya melarang menteri rangkap jabatan dengan jabatan publik seperti komisaris BUMN. Larangan tersebut juga berlaku bagi Wakil Menteri, " ujar Khozin.
Putusan MK 80/PUU-XVII/2019 sendiri berkaitan dengan pertimbangan MK yang menegaskan larangan rangkap jabatan untuk wakil menteri. Pertimbangan hukum dalam putusan tersebut menyatakan bahwa jabatan menteri dan wakil menteri sama-sama ditunjuk oleh presiden sehingga memiliki status yang sama.
"Dengan status demikian, maka seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri, " bunyi 80/PUU-XVII/2019 itu.
Alasan pertimbangan itu dibuat MK agar wakil menteri fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus di kementeriannya sebagai alasan perlunya diangkat wakil menteri di kementerian tertentu. Perdebatan ini jelas menunjukkan adanya perbedaan interpretasi dan pemahaman tentang hukum, etika, dan tata kelola pemerintahan yang baik. Pertanyaannya, siapa yang akan mengalah dan demi kepentingan siapa? (RI1.CO.ID)