PAPUA - Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menjadi sorotan, bukan karena gerakannya melawan negara, melainkan karena persaingan internal yang semakin tidak sehat. Informasi dari masyarakat di sejumlah daerah pedalaman menunjukkan bahwa kelompok bersenjata itu kini kian disibukkan dengan konflik internal yang sering kali berujung pada pertikaian terbuka antaranggota. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana OPM mulai kehilangan arah perjuangan dan justru larut dalam perebutan kepentingan sempit.
Tokoh masyarakat Intan Jaya, Petrus Sondegau, mengungkapkan bahwa perpecahan dalam tubuh OPM dipicu oleh berbagai faktor, terutama perebutan pengaruh, logistik, serta dana yang semakin terbatas. Menurutnya, hal ini membuat anggota kelompok tersebut tidak lagi solid, bahkan saling mencurigai satu sama lain.
“Sekarang mereka tidak lagi bersatu. Ada yang hanya mau ambil keuntungan, ada pula yang kecewa dengan pimpinan. Akhirnya sesama mereka sendiri ribut. Ini bukan lagi perjuangan, melainkan perebutan kepentingan pribadi, ” tegas Petrus, Kamis (21/08/2025).
Senada dengan itu, tokoh adat Kabupaten Puncak, Yonas Murib, menilai perpecahan tersebut sudah menimbulkan keresahan besar bagi masyarakat sipil. Ia menuturkan bahwa pertikaian internal OPM kerap melebar menjadi konflik terbuka yang justru merugikan rakyat kecil.
“Kalau mereka bertikai, yang jadi korban masyarakat. Rumah bisa dibakar, orang-orang harus mengungsi. Jadi jelas, mereka sudah tidak peduli dengan rakyat. Mereka sibuk berkonflik demi kepentingan kelompok, sementara masyarakat jadi korban, ” ujarnya dengan nada tegas.
Selain faktor logistik dan perebutan pengaruh, perbedaan generasi juga menjadi pemicu utama. Anggota muda OPM disebut lebih agresif dan berani mengambil langkah ekstrem, sementara anggota senior merasa terpinggirkan. Ketegangan ini kemudian berujung pada ketidakpercayaan antaranggota, bahkan saling menuding sebagai pengkhianat.
Beberapa eks-anggota OPM yang telah memilih kembali ke masyarakat juga mengungkapkan pengalaman pahitnya. Mereka menyebutkan bahwa ancaman pembunuhan kerap datang dari rekan mereka sendiri setelah dianggap tidak loyal atau berbeda pandangan dengan pimpinan kelompok. Situasi tersebut menjadi bukti nyata bahwa OPM tidak lagi memiliki ikatan persaudaraan yang kokoh.
“Dulu mereka mengaku berjuang bersama, tapi sekarang justru saling menuduh. Ada yang dituduh sebagai mata-mata, ada yang dituduh berkhianat, lalu diancam. Jadi, jelas mereka sudah kehilangan arah, ” ujar salah seorang mantan anggota yang enggan disebutkan namanya.
Kondisi internal yang kian rapuh ini diyakini akan terus melebar bila tidak ada kesepahaman di antara mereka. Namun, bagi masyarakat Papua, perpecahan ini sudah cukup menjadi bukti bahwa OPM bukanlah jawaban bagi masa depan yang damai dan sejahtera.
Sebaliknya, perselisihan itu hanya menambah penderitaan rakyat kecil yang selalu menjadi korban. Harapan masyarakat kini tertuju pada terciptanya kedamaian tanpa bayang-bayang kekerasan bersenjata, di mana kehidupan bisa kembali berjalan normal, anak-anak bisa bersekolah dengan tenang, dan warga bisa berkebun tanpa rasa takut.
(APK/Red1922)