BANYUMAS - Di bawah langit yang teduh semilir angin sejuk di Joglo Sufi Sokaraja Tengah, obrolan hangat dua tokoh Banyumas bersama awak awak media, mengalir dalam suasana semangat Hari Santri Nasional 2025, Rabu (22/10/2025).
Bukan sekadar nostalgia, tetapi perenungan dan penegasan tentang jati diri santri masa kini, mereka yang mewarisi keikhlasan para kiai, namun juga dituntut menyalakan obor perubahan di tengah zaman yang terus bergerak.
dr. H. Tangguh Budi Prasetyo, seorang dokter dan aktifis pengurus diberbagai organisasi, yang juga dikenal memiliki jiwa santri, menuturkan bahwa santri hari ini harus mampu mengabdi sesuai kapasitasnya.
“Santri tidak harus selalu berada di pesantren, tapi nilai-nilai pesantren itu harus hidup di manapun ia berada. Ketika seorang santri jadi dokter, guru, pengusaha, atau pejabat, ia sedang menanam nilai khidmah dengan caranya sendiri. Itu bentuk jihad kemerdekaan di masa kini, ” ujarnya dengan nada teduh namun penuh makna yang tangguh.
Menurutnya, santri sejati adalah yang menyalakan cahaya akhlak dalam profesinya, mengobati bukan hanya raga, tapi juga hati dan moral bangsanya. Dalam pandangannya, mengisi kemerdekaan hari ini berarti menebar manfaat, menjaga integritas, dan berbuat dengan hati nurani.
Sementara itu, H. Imam Purwanto, akrab dipanggil Ayahe, seorahg tokoh pengusaha batik, peternakan dan pertanian, yang juga Ketua Yayasan Pondok Pesantren Abdul Djamil Tebuireng 17 Sokaraja, memberikan pandangan dari sisi yang berbeda namun seirama.
“Santri hari ini harus mandiri, berani, dan kreatif. Bukan hanya menjadi pekerja, tapi pencipta lapangan kerja atau wirausaha. Kita di PP Abdul Djamil Tebu Ireng 17 Sokaraja, sedang berproses melahirkan santripreneur, santri yang tidak hanya berdzikir, tapi juga berpikir dan bertindak serta berkatya, ” tutur H. Imam dengan semangat.
Beliau menegaskan, kemandirian ekonomi adalah bagian dari jihad kebangsaan, dan pesantren memiliki potensi besar untuk mencetak generasi santri yang tangguh, inovatif, dan tetap berakhlak mulia.
Obrolan di Joglo Sufi itu menjadi refleksi ruhani sekaligus panggilan zaman, bahwa santri harus hadir sebagai penjaga nur kemerdekaan, bukan hanya dengan sorban dan kitab, tapi dengan karya nyata dan moralitas yang teguh.
Di tengah derasnya arus globalisasi, santri di Banyumas dan seluruh Nusantara ditantang untuk meneruskan peran para pendahulu, membangun bangsa dengan ilmu, iman, dan amal. Karena seperti yang diungkapkan keduanya,
“Kemerdekaan tidak cukup dijaga dengan kata, tapi dihidupi dengan karya dan bermakna bermanfaat untuk sesama, ” Imbuhnya.
Dalam semangat Hari Santri Nasional 2025, dengan tema “Ayo Mondok, Santri Menjaga Nur Pesantren, Mengawal dan Mengisi Kemerdekaan Indonesia”, gema kesadaran itu menggema dari pesantren hingga pelosok negeri, bahwa santri bukan sekadar masa lalu yang dikenang, tapi masa depan yang sedang diperjuangkan.
(Djarmanto-YF2DOI)