Abdullah Rasyid: KUHP Baru dan Paradoks Lapas

4 hours ago 2

HUKUM - Situasi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia kini menghadapi tantangan serius berupa lonjakan penghuni yang kian tak terkendali. Data terkini menunjukkan bahwa tingkat hunian telah mendekati ambang batas 100% di atas kapasitas normal, memicu berbagai persoalan pelik di dalamnya. Senin lalu (23/6), Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan RI, Agus Andrianto, mengungkapkan kondisi kritis ini.

Menurut Menteri Agus Andrianto, Lapas yang sejatinya hanya dirancang untuk menampung 140 ribu orang, kini terpaksa dihuni oleh sekitar 170 ribu orang. Kondisi "kelebihan muatan" ini secara otomatis menimbulkan dampak negatif yang mendalam. Alih-alih berfungsi optimal sebagai sarana pembinaan bagi para narapidana, lingkungan yang sesak dan tidak layak justru memicu frustrasi dan menghambat proses rehabilitasi.

Pemerintah memang tidak berpangku tangan. Upaya penambahan kapasitas melalui pembangunan gedung Lapas baru terus dilakukan. Menteri Agus juga menyebutkan bahwa Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemen IMIPAS) sedang mempersiapkan 13 Lapas baru. Namun, muncul pertanyaan krusial: benarkah langkah ini menjadi solusi permanen untuk mengatasi akar masalah?

Melihat potret sistem peradilan pidana saat ini, tampaknya solusi fisik semata belum menjamin persoalan overkapasitas tidak akan terulang di masa depan. Ironisnya, hampir 60?ri total penghuni Lapas saat ini adalah mereka yang tersangkut kasus pidana narkotika. Kelompok ini mencakup spektrum yang luas, mulai dari sekadar pengguna untuk konsumsi pribadi hingga pelaku kejahatan kelas kakap.

Pertanyaan besar pun mengemuka: haruskah semua individu yang terkait dengan kasus narkotika, terlepas dari perannya, dijebloskan ke dalam penjara, terutama ketika fasilitas penahanan sudah kolaps? Lebih jauh lagi, apakah penjara benar-benar menjadi jalan keluar yang efektif, mengingat rantai kejahatan narkotika tak kunjung terputus? Fakta yang memprihatinkan bahkan menunjukkan adanya tindak kejahatan narkotika yang justru dikendalikan dari balik jeruji Lapas.

Dalam konteks inilah, penguatan semangat keadilan restoratif dalam sistem pemidanaan menjadi sangat relevan dan mendesak. Kita patut menyambut baik kehadiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang bukan sekadar perombakan pasal demi pasal, melainkan membawa napas keadilan yang lebih segar dan progresif. Di dalamnya, termuat nuansa keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif, memberikan sinyal positif bagi pendekatan yang lebih fleksibel.

KUHP baru memberikan "lampu hijau" bagi penegak hukum untuk melihat kasus secara lebih komprehensif, melampaui definisi sempit tentang "kejahatan" dan "hukuman." Beberapa pasal dalam KUHP baru secara eksplisit membuka ruang bagi penyelesaian perkara di luar jalur pengadilan formal, terutama untuk kasus-kasus ringan atau tertentu.

Inilah "angin segar" yang dinantikan untuk mereduksi penumpukan di Lapas dan memberikan kesempatan kedua bagi lebih banyak orang untuk pulih dan kembali ke masyarakat. KUHP baru merefleksikan kesadaran negara bahwa tidak semua kesalahan harus berujung pada pemenjaraan. Ada jalur alternatif yang lebih berfokus pada pemberdayaan dan "pulih."

Implementasi semangat baru ini tentu bukan tanpa tantangan. Diperlukan perubahan mendasar dalam pola pikir seluruh elemen, mulai dari aparat penegak hukum, masyarakat, hingga narapidana itu sendiri. Sosialisasi masif, pelatihan berkelanjutan, dan penguatan kebijakan adalah prasyarat mutlak. Kolaborasi erat antara Kementerian Hukum dan Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kepolisian, Kejaksaan, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan organisasi masyarakat sipil menjadi kunci keberhasilan.

Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk memanfaatkan momentum transisi ke KUHP baru guna mewujudkan perubahan nyata dalam sistem pemasyarakatan dan peradilan pidana. Mari kita buktikan bahwa keadilan bukan sekadar aksi memenjarakan, tetapi juga tentang membebaskan, memulihkan, dan membangun kembali kehidupan. Ini adalah kisah tentang harapan, membuka gerbang menuju masa depan yang lebih adil dan manusiawi bagi seluruh warga negara.

Jakarta, 26 Juni 2025

Ir. H. Abdullah Rasyid, ME. Staf Khusus Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan RI

Read Entire Article
Karya | Politics | | |