JERMAN - Di tengah hiruk pikuk bandara di Nordrhein-Westfalen (NRW), Jerman, terutama di Düsseldorf, Mert Sayim menjalankan tugas yang penuh tantangan. Ia menyaksikan langsung bagaimana warga asing, mayoritas pengungsi yang permohonan suakanya ditolak, diterbangkan keluar dari Jerman. Pada tahun 2024 saja, lebih dari 2.800 orang telah dideportasi melalui jalur udara dari bandara tersebut.
Sebagai penasihat di lembaga gereja Diakonie yang fokus pada pengungsi, migrasi, dan integrasi, Sayim memiliki mandat penting: mengamati proses deportasi oleh kepolisian dan mendokumentasikan potensi pelanggaran. Ia adalah mata dan telinga yang memastikan tidak ada yang terlewatkan, terutama ketika angka deportasi terus meroket. Sejak 2022, jumlahnya melonjak dari sekitar 13.000 menjadi lebih dari 20.000 per tahun. Prediksinya, pada tahun 2025, tren ini akan terus menanjak; paruh pertama tahun ini saja sudah mencatat 12.000 deportasi.
Sayim menyadari bahwa pekerjaannya akan semakin menumpuk. Ia menyaksikan sendiri peristiwa yang sangat memilukan, mendokumentasikannya secara rutin untuk publikasi. Dalam pemaparan laporan tahunan terbarunya, ia menyoroti sebuah kasus yang meresahkan. “Kami mengamati antara lain deportasi seorang anak setelah menjalani operasi jantung baru-baru ini. Itu pun tanpa pemeriksaan lanjutan yang secara medis wajib dilakukan—padahal jadwal pemeriksaan sudah ditentukan, ” ungkapnya dengan nada prihatin.
Situasi seperti inilah yang mendorong Sayim untuk menyerukan adanya kepekaan dan fleksibilitas yang lebih besar. Laporan tahunan lembaga pengawas deportasi turut menyertakan rekomendasi krusial: “Dalam deportasi orang sakit, harus diperiksa secara individual apakah orang tersebut benar-benar memiliki akses terhadap layanan medis yang diperlukan di negara tujuan. Perlu dipertimbangkan apakah pengobatan tersebut dapat diakses, terjangkau, dan tersedia.” Jika ada risiko kesehatan serius, deportasi sepatutnya ditangguhkan. Namun, penangguhan semacam itu jarang terjadi, seringkali justru karena alasan lain yang lebih mendasar, seperti penolakan pilot terbang akibat perilaku agresif dari yang dideportasi, demi keselamatan penumpang lainnya.
Keselamatan penumpang memang menjadi prioritas utama, hal ini ditegaskan oleh Kepolisian Federal yang bertanggung jawab atas pengamanan perbatasan. “Deportasi bukan harga mati, ” tegas Komisaris Utama Andrea Hoffmeister dari kepolisian federal di Sankt Augustin, seraya menambahkan bahwa semua petugas yang terlibat telah melalui pelatihan khusus, dan fasilitas khusus pun disediakan di bandara untuk keluarga dan anak-anak.
Namun, bagi Sayim, persepsi ramah pemerintah dalam proses pengusiran warga asing hanya terlihat sampai di tangga pesawat. “Pemantauan deportasi harus diperluas dan diperkuat secara struktural, ” ia mendesak, menuntut transparansi yang lebih besar. Ia berpendapat, hal ini perlu diatur dalam undang-undang di tingkat federal dan negara bagian, mencakup seluruh rangkaian proses, dari penjemputan hingga perjalanan di pesawat, sebagaimana diwajibkan oleh pedoman Uni Eropa sejak 2008.
Sayangnya, Jerman terkesan mengabaikan pedoman tersebut sambil mendorong negara lain untuk menerapkan kebijakan yang lebih tegas. Sebagai contoh, pada Juli lalu, Menteri Dalam Negeri Alexander Dobrindt mengundang rekan-rekannya dari Austria, Denmark, Prancis, Ceko, dan Polandia untuk menyelaraskan langkah. Pernyataan bersama mereka menegaskan, “Pemulangan yang efektif adalah syarat mutlak untuk kepercayaan terhadap kebijakan migrasi Eropa yang seimbang.”
Pastor Rafael Nikodemus dari Diakonie Rheinland Westfalen Lippe, yang menaungi lembaga pengawas deportasi ini, berharap adanya kepercayaan dalam arti lain. Ia meyakini, transparansi di area yang tertutup ini akan membawa manfaat bagi semua institusi yang terlibat. “Yang penting adalah pandangan bersama antara lembaga negara dan non-negara tentang apa yang layak secara kemanusiaan, ” ujarnya.
Tekanan politik yang meningkat dan perdebatan publik yang semakin terpolarisasi juga dirasakan Pastor Nikodemus di lingkungan gereja, yang seringkali menjadi benteng terakhir bagi mereka yang terancam deportasi. Pada tahun 2024, tercatat 329 kasus baru permohonan suaka di gereja di NRW, sebuah angka yang lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Situasi ini menunjukkan betapa kompleksnya isu migrasi dan deportasi, serta urgensi untuk menemukan solusi yang manusiawi dan berkeadilan. (PERS)