SERANG - Pusat Studi dan Informasi Regional (Pattiro) Banten melayangkan kritik tajam terhadap besaran tunjangan kinerja (Tukin) yang diterima Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten. Menurut penggiat Pattiro, Bella Rusmiati, besaran Tukin tersebut dinilai tidak proporsional, bahkan cenderung berlebihan, terutama jika dibandingkan dengan provinsi lain seperti Jawa Barat dan Jawa Timur.
"Tunjangan kinerja Aparatur Sipil Negara di Pemerintah Provinsi Banten dinilai tidak proporsional, bahkan berlebihan. Nilai Tukin pejabat Banten yang diterima lebih tinggi dibandingkan Jawa Barat dan Jawa Timur, " ungkap Bella Rusmiati pada Sabtu (6/9/2025).
Bella menyoroti fakta bahwa jumlah penduduk Banten yang hanya sekitar 12, 5 juta jiwa, jauh lebih kecil dibandingkan Jawa Barat (50, 73 juta) maupun Jawa Timur (42 juta). Ironisnya, dengan populasi yang lebih sedikit, beban pelayanan publik serta capaian kinerja birokrasi Banten justru dinilai relatif lebih rendah.
Data yang dihimpun Pattiro menunjukkan disparitas yang signifikan. Untuk kelas jabatan 16 atau eselon tertinggi, ASN Pemprov Banten menerima Tukin sebesar Rp76, 5 juta per bulan. Angka ini jauh melampaui Jawa Barat yang hanya Rp44, 92 juta dan Jawa Timur Rp43, 12 juta. Kesenjangan serupa juga terlihat pada kelas jabatan di bawahnya, mulai dari 15, 14, hingga 9.
Namun, besarnya tunjangan kinerja ini tidak sejalan dengan perbaikan kinerja yang nampak. Bella memaparkan bahwa Indeks Reformasi Birokrasi Banten hanya mengalami peningkatan tipis, dari 54, 20 pada tahun 2017 menjadi 61, 12 pada tahun 2020 dengan predikat B. Angka ini masih tertinggal jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 74, 63.
Lebih mengkhawatirkan lagi, indikator integritas juga menunjukkan tren penurunan. Indeks Persepsi Anti Korupsi tercatat menurun dari 67, 35 pada 2019 menjadi 61, 38 pada 2020, menandakan adanya masalah serius dalam pencegahan korupsi di lingkungan birokrasi Banten.
Meskipun Pemprov Banten berencana memangkas Tukin sebesar 5 persen dalam APBD Perubahan 2025, Pattiro menilai langkah tersebut belum cukup signifikan. Menurut Bella, pemotongan sebesar itu tidak akan memberikan dampak besar, karena pejabat kelas 16 masih akan menerima sekitar Rp72, 675 juta per bulan, yang tetap jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi lain.
Bella prihatin kebijakan pemotongan Tukin yang minim ini berpotensi mengorbankan alokasi anggaran untuk sektor-sektor prioritas. "Padahal kebijakan ini berpotensi mengurangi alokasi anggaran untuk sektor prioritas, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, " tegasnya.
Menyikapi kondisi tersebut, Pattiro memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, pemberlakuan moratorium kenaikan Tukin hingga reformasi birokrasi Banten mencapai predikat A. Kedua, pemotongan Tukin sebesar 30-50 persen untuk dialihkan ke program prioritas. Ketiga, penerapan sistem link and match antara Tukin dan kinerja ASN. Pattiro juga mendorong dilakukannya benchmarking dengan provinsi lain serta peningkatan transparansi anggaran Tukin agar publik dapat memahami dasar pengalokasiannya.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten pun didesak untuk memperkuat fungsi pengawasannya. "DPRD harus memastikan kebijakan tukin ASN sesuai prinsip efisiensi, akuntabilitas, dan proporsionalitas, " ujar Bella.
Pattiro menegaskan bahwa APBD Perubahan 2025 seharusnya menjadi momentum krusial untuk melakukan reformasi sistem penggajian ASN di Banten. "Kami akan terus mengawal agar pengelolaan anggaran publik lebih transparan dan benar-benar untuk kesejahteraan 12, 5 juta rakyat Banten, " pungkasnya. (PERS)