PANGKEP SULSEL - Pembangunan desa merupakan fondasi utama kemajuan suatu bangsa. Ketika desa kuat, maka kota akan hidup, dan negara akan kokoh. Thailand adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang berhasil menunjukkan bahwa pembangunan desa bukan sekadar proyek, melainkan sebuah gerakan sosial dan budaya. Mereka membuktikan bahwa kemajuan tidak harus selalu dimulai dari pusat kota, tetapi bisa tumbuh dari akar desa yang mandiri, kreatif, dan berdaya.
Salah satu kunci sukses Thailand adalah penerapan “Sufficiency Economy Philosophy” (SEP) atau filosofi ekonomi kecukupan yang digagas oleh Raja Bhumibol Adulyadej. Prinsip ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Bukan soal menjadi kaya, tetapi hidup dengan cukup, berkelanjutan, dan bahagia dengan sumber daya yang ada. Desa-desa di Thailand diajak untuk tidak bergantung pada bantuan terus-menerus, tetapi diberdayakan agar mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Melalui filosofi itu, desa-desa di Thailand mengembangkan ekonomi berbasis sumber daya lokal. Petani tidak hanya menanam padi, tetapi juga sayur, buah, herbal, dan beternak secara terpadu. Hasil panen diolah menjadi berbagai produk bernilai tambah seperti sabun herbal, teh kering, atau makanan ringan khas desa. Dengan diversifikasi ini, pendapatan warga menjadi lebih stabil dan desa memiliki ekonomi yang berputar di lingkungannya sendiri.
Pemerintah Thailand juga menaruh perhatian besar pada pendidikan dan pelatihan masyarakat desa. Mereka mendirikan pusat pembelajaran masyarakat, bekerja sama dengan universitas dan lembaga pelatihan. Di tempat ini, warga dilatih mengelola keuangan, memasarkan produk secara digital, dan berinovasi dengan teknologi tepat guna. Anak muda desa tidak lagi harus pergi ke kota untuk mencari kerja, karena desa kini menjadi tempat yang produktif dan menjanjikan.
Selain itu, keberadaan dana desa (Village Fund) menjadi motor penggerak ekonomi lokal. Setiap desa di Thailand memperoleh dana sekitar satu juta baht perdesa ( Rp 450 juta perdesa) untuk dikelola secara mandiri oleh masyarakat. Dana ini digunakan untuk usaha mikro, investasi komunitas, hingga kegiatan sosial. Yang menarik, pengelolaannya dilakukan secara transparan melalui musyawarah, sehingga kepercayaan antarwarga tetap terjaga dan tidak terjadi penyalahgunaan.
Thailand juga memperkuat pembangunan desa saat dengan konsep “Model Villages” atau desa percontohan. Desa yang sudah berhasil menjadi laboratorium hidup bagi desa lain untuk belajar. Pendekatan ini mempercepat penyebaran pengetahuan dan memperkuat jaringan kerja sama antar-desa. Dari sinilah muncul berbagai desa unggulan di bidang pertanian, pariwisata, hingga kerajinan yang mendunia.
Tak kalah penting, Thailand memanfaatkan teknologi untuk mendorong kemajuan desa melalui program “Smart Village”. Petani menggunakan sensor digital untuk memantau kelembaban tanah, masyarakat memasarkan produk lewat platform daring, dan data desa dikelola dengan sistem digital. Langkah ini menjembatani antara tradisi dan modernitas tanpa menghilangkan jati diri desa.
Pola pembangunan Thailand ini memberikan pelajaran penting bagi Indonesia. Bahwa kemandirian desa tidak bisa hanya mengandalkan bantuan pemerintah, tetapi harus dibangun dengan kesadaran, gotong royong, dan kepemimpinan lokal yang visioner. Kepala desa dan tokoh masyarakat harus menjadi motor perubahan yang mampu menggandeng seluruh potensi warga dan sumber daya yang ada.
Kini saatnya Indonesia mengambil inspirasi dari Thailand untuk memperkuat desa-desa kita. Dengan menggabungkan kearifan lokal, inovasi teknologi, dan semangat ekonomi kecukupan, desa dapat menjadi pusat peradaban baru yang bukan hanya memberi makan kota, tetapi juga melahirkan kesejahteraan dan kebanggaan bangsa. Membangun desa bukan sekadar program, melainkan perjalanan menuju kemandirian yang sejati.
Pangkep 10 Oktober 2025
Herman Djide
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Jurnalis Nasional Indonesia Cabang Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan