JAKARTA - Kasus Ketua Umum Solmet, Silfester Matutina, yang tak kunjung dieksekusi setelah vonis berkekuatan hukum tetap pada 2019, kembali mencuat. Anang Supriatna, mantan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kajari Jaksel) yang kini menjabat sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung), akhirnya buka suara.
Anang mengklaim, saat menjabat Kajari, ia telah mengeluarkan surat perintah eksekusi. Namun, upaya tersebut terganjal karena Silfester sempat menghilang.
"Kita sudah lakukan (perintah eksekusi) sesudah inkrah. Saat itu tidak sempat dieksekusi karena sempat hilang, " ujarnya kepada wartawan di Gedung Bundar Kejagung, Kamis (14/8/2025).
Setelah pencarian tak membuahkan hasil, Anang menyebut pandemi Covid-19 melanda Indonesia, membatasi segala aktivitas, termasuk eksekusi narapidana. Alasan ini sekaligus membantah adanya tekanan politik yang menyebabkan Silfester bebas dari jerat hukum.
"Kemudian keburu Covid-19, jangankan memasukkan orang, yang di dalam aja harus dikeluarkan, " tuturnya.
Sebelumnya, ketidakjelasan eksekusi Silfester menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Komisi Kejaksaan (Komjak) dan mantan Menko Polhukam Mahfud MD. Mereka mempertanyakan alasan Kejaksaan menunda penahanan Silfester, padahal masa eksekusi belum kedaluwarsa.
"Mestinya Kejaksaan Agung menjelaskan: 1) Mengapa itu terjadi? 2) Langkah apa yang telah dan akan dilakukan sekarang? Rakyat berhak tahu tentang itu. Menakutkan, jika ada vonis yang tak dilaksanakan tanpa penjelasan, " kata Mahfud.
Kasus ini bermula dari laporan Solihin Kalla, putra Jusuf Kalla, pada 2017. Silfester dituduh mencemarkan nama baik dan melakukan fitnah dalam orasinya. Ia menuding Jusuf Kalla menggunakan isu SARA untuk memenangkan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI Jakarta.
Pengadilan kemudian menjatuhkan vonis 1 tahun penjara pada 30 Juli 2018, yang dikuatkan di tingkat banding pada 29 Oktober 2018. Bahkan, di tingkat kasasi, hukuman Silfester diperberat menjadi 1 tahun 6 bulan penjara.
Namun, hingga kini, putusan kasasi tersebut belum dieksekusi. Terakhir, Silfester justru mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Publik kini menanti kelanjutan drama hukum ini, bertanya-tanya apakah keadilan akan benar-benar ditegakkan, ataukah pandemi akan terus menjadi alasan pembenar bagi penundaan eksekusi. (Wajah Koruptor)