Hukum - Dalam dunia ideal, keadilan adalah milik semua warga negara tanpa terkecuali. Namun di dunia nyata, terutama di pelosok-pelosok republik ini, keadilan sering kali hanya tinggal jargon dalam pidato dan janji politik. Seperti itulah yang kini dirasakan masyarakat kampung tua wilayah perairan Kecamatan Mesuji, Kabupaten Mesuji, Lampung.
Mereka bukan penjahat, bukan perampas hak orang lain—mereka hanya rakyat biasa yang sedang berusaha merebut kembali hak miliknya sendiri. Tanah warisan keluarga yang telah dikuasai secara turun-temurun, kini justru direbut oleh oknum yang digambarkan “bertangan besi dan kebal hukum”. Laporan telah mereka layangkan sejak 7 Maret 2011 ke Polres Tulang Bawang, namun selama 14 tahun, hukum tetap membisu.
Darmawan dan David, dua anak almarhum Kardarsyah, berdiri mewakili suara rakyat yang terus diabaikan. Mereka datang ke Sekretariat Hukum Grib Jaya dan berkonsultasi dengan tim APS Law, membangkitkan kembali harapan yang sempat padam. Namun, langkah hukum tidaklah cukup bila sistem yang ada lebih berpihak pada yang kuat, bukan yang benar.
Opini ini menggarisbawahi realita yang sering terjadi di negeri ini: bahwa keadilan bukan ditentukan oleh kebenaran, tetapi oleh kekuasaan dan pengaruh. Laporan yang sudah teregistrasi secara hukum bisa tak digubris. Bukti hak bisa dianggap tak berarti ketika berhadapan dengan “orang kuat”. Dan rakyat? Kerap disuruh bersabar, terus menunggu dalam ketidakpastian.
Ketua Grib Jaya, Apri, memberi nasihat bijak: “Terkadang keadilan memang tidak datang dengan cepat. Semua butuh proses.” Namun sampai kapan proses itu harus ditunggu, jika selama bertahun-tahun tak kunjung ada perubahan? Sabar itu penting, tapi rakyat juga berhak untuk bersuara lebih keras ketika sabar tidak lagi didengar.
Apa yang dialami masyarakat Mesuji bukan kasus tunggal. Ini adalah potret besar dari wajah keadilan yang timpang. Kita menyaksikan bagaimana hukum bisa bergerak cepat saat menyentuh kepentingan elite, tapi begitu lambat bahkan lumpuh saat menyangkut rakyat kecil.
Kita perlu bertanya dengan jujur:
Apakah hukum di negeri ini masih menjunjung keadilan?
Atau justru mempertahankan kekuasaan?
Masyarakat kampung tua Mesuji kini bersiap melangkah lebih jauh—ke Wakil Presiden, Kapolri, Menteri ATR, Menteri HAM, hingga Presiden Prabowo Subianto dan Ombudsman. Bukan karena mereka haus panggung, tapi karena suara mereka selama ini tak pernah benar-benar didengar.
Keadilan bukan hak istimewa bagi segelintir orang. Ia adalah jantung dari demokrasi dan hak hidup warga negara. Dan jika hari ini kita membiarkan rakyat kecil terus diabaikan, jangan salahkan mereka bila suatu saat hukum tak lagi dipercaya.
Semoga kisah dari perairan Mesuji ini menjadi pengingat, bahwa keadilan tidak boleh menunggu, dan negara tidak boleh terus diam.
Karena ketika suara rakyat diabaikan, maka diam adalah bentuk pengkhianatan.
Mesuji, 19 Juli 2025
Udin komarudin
Ketua DPD Jurnalis Nasional Indonesia