JAKARTA - Jangan lelah mencintai Indonesia, adalah kalimat yang saya kutip dari postingan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, setelah tragedi penjarahan rumahnya. Ibu Menkeu, bisa saja di nilai sebagai seorang penyebab dari gaduh di penghujung Agustus 2025. Setiap kita bisa membangun persepsi sendiri tentang penyebab dan dampak dari kegaduhan tersebut, tapi menyebut Menkeu yang ketika diganti justru menggoyang bursa bisa dikategorikan naif.
Penjarahan rumah pribadi dalam gelombang dampak demonstrasi, bagaimana pun tidak bisa ditolerir. Perbedaan persepsi yang berujung pada lahirnya kebijakan ekonomi, tak bisa diditimpakan pada perseorangan mengingat dia bagian dari birokrasi besar pemerintahan Indonesia. Apalagi kita tahu Sri Mulyani tak pernah melamar untuk posisinya sebagai Menteri Keuangan. Dia direkrut, dan dia bersedia membantu Presiden sesuai kapasitas dan kapabilitasnya.
Pos Menkeu adalah salah satu yang dikocok ulang dalam kabinet Presiden Prabowo pada 8 September lalu.Ada 4 pos lainnya yang menterinya diberhentikan, 2 pos di antaranya malah belum ditetapkan pejabatnya. Kocok ulang ini, katanya, demi peningkatan kinerja Kabenet yang baru 10 bulan sudah 2 kali berubah.
Pos Kemendikti sudah lebih awal berubah, justru mahasiswa yang dibinanya kini jadi penggerak demonstrasi untuk memerbaiki manajemen negara yang tidak efisien dipertujukkan oleh anggota parlemen.
Pos Kemenkopolkam, seolah jadi sasaran tembak ketika polisi dianggap telah salah tindak – tak proporsional, tak profesional, dan tak manusiawi – dalam mengawal demo yang dibolehkan undang-undang. Tapi, pos ini dibiarkan kosong dan dijabat sementara oleh Menhan yang mantan tentara. Masyarakat kuatir tentara ikut intervensi di lingkungan sipil – meski telah diyakinkan bahwa itu mustahil.
Pos Kementerian Koperasi, yang sukses membangun ribuan Kopdes juga diisi oleh pejabat baru, yang sebelumnya jadi Wamen. Di posisi ini, bisa jadi merupakan jawaban atas kinerja menteri lama yang diduga terlibat kegiatan membackup judi online saat menjabat di pos kementerian sebelumnya. Meskipun persoalan ini masih panjang proses pembuktiannya.
Pos kementerian yang mengurus pekerja migran pun diserahkan ke orang baru dari partai. Entah apa pertimbangan menempatkan orang politik untuk mengurusi dana besar hasil remitensi pekerja migrasi dan perlindungan wni yang terpaksa ke luar negeri mencari nafkah.
Soal pos Kementerian baru sebagai numenklatur karena perubahan undang-undang terkait haji, memang tak bisa dipungkiri. Kepala Badan dan Wakilnya jadi menteri baru di kabinet, demi urusan haji yang lebih lancar dan berkualitas. Kasus di seputar urusan haji pun tak kalah besar korupsinya yang sedang dididik lembaga KPK. Kasus jual beli kuota haji telah melukai rasa keadilan bagi mereka yang tak berguna tapi punya niat kuat untuk beribadah.
Berdasarkan uraian di atas, soal kinerja kabinet dan masalah perseorang sebagai menteri urusan tertentu, kiranya bisa jadi jawaban bagi tuntutan masyarakat untuk birokrasi yang lebih baik dan melayani rakyat. Namun demikian bisa juga menjadi kontroversi baru yang menimbulkan masalah.
Dia berpotensi menjawab, dan jadi persoalan baru ketika seorang menteri yang baru saja dilantik menyatakan bahwa protes masyarakat yang mengemuka belakang ini hanya "masalah sebagian kecil orang”. Dia begitu yakin menyebut pertumbuhan ekonomi yang bila kelak tercapai 7 persen , akan menjadi jawaban semua soal. Padahal, menurut saya, pertumbuhan ekonomi di masa sulit kini jika tidak diikuti efisiensi anggaran dan pemerataan yang adil kepada seluruh rakyat Indonesia, akan tidak bisa menghentikan gelombang protes dalam bentuk demo oleh masyarakat.
Kini anatomi pembentukan pendapat umum sudah berubah revolusioner seiring peningkatan media sosial. Segala isu dibahas, setiap pejabat publik dinilai terbuka, dan secara cepat menggelembung layaknya bola salju yang meluncur liar menabrak apa saja yang di depannya. Jika coba ditahan, bukan tidak mungkin jadi musibah besar dan mengakibatkan yang tak terduga.
Ingat ini: mensana en corpore sano. Bahwa dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat. Bukankah proporsi terbesar masyarakat kita adah mereka yang produktif dan begitu perduli?
Penulis Asrul M Mustaqim (Dosen Pasca Sarjana IISIP Jakarta)