JAKARTA - Keputusan tegas diambil Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, mempertahankan vonis 7, 5 tahun penjara bagi mantan Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Prasetyo Boeditjahjono. Ia terbukti bersalah dalam pusaran dugaan korupsi pembangunan proyek jalur kereta Besitang-Langsa, sebuah kasus yang mengiris rasa keadilan kita.
Informasi ini terungkap dari amar putusan banding yang kami telusuri dari laman resmi Mahkamah Agung. Keputusan ini menegaskan bahwa ia harus tetap mendekam di balik jeruji besi.
“Memerintahkan agar Terdakwa tetap ditahan, ” demikian bunyi tegas dalam amar putusan banding yang kami lihat pada Jumat (19/9/2025). Ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari tanggung jawab yang harus diemban.
Majelis hakim yang diketuai oleh Sugeng Riyono, bersama dua hakim anggota Fauzan dan Edi Hasmi, tak ragu untuk menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. Rasanya seperti menyaksikan sebuah pertarungan hukum yang membuahkan hasil yang konsisten.
“Menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 41/Pid.Sus-TPK/2025/PN Jkt Pst tanggal 21 Juli 2025 yang dimintakan banding tersebut, ” jelas amar banding tersebut. Ini menunjukkan bahwa keyakinan hakim terhadap bukti-bukti yang ada terbilang kuat.
Pada musyawarah hakim di tingkat banding pada 4 September 2025, Prasetyo memang diperintahkan untuk tetap menjalani masa tahanan. Tentunya, ini akan dikurangi dengan waktu yang telah ia jalani sebelumnya.
Namun, perjalanan hukum belum sepenuhnya berakhir. Dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakpus, Prasetyo telah mengajukan langkah kasasi terhadap putusan banding ini pada Senin (15/9/2025). Kita nantikan bagaimana babak selanjutnya akan terungkap.
Sebelumnya, di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Prasetyo telah divonis penjara selama 7, 5 tahun dan dijatuhi denda Rp 500 juta, dengan subsider 6 bulan kurungan. Sungguh sebuah konsekuensi yang berat.
Majelis hakim menilai, berdasarkan fakta persidangan, Prasetyo tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi, sebagaimana dakwaan primair jaksa. Namun, ia terbukti melanggar Pasal 18.
Oleh karena itu, hukuman pidana tambahan berupa uang pengganti harus dibayarkan. Jumlahnya sebesar Rp 2, 6 miliar, sesuai dengan nilai korupsi yang terindikasi ia terima. Sebuah kerugian negara yang memilukan.
Apabila uang pengganti ini tidak kunjung dibayarkan dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda Prasetyo akan disita dan dilelang untuk menutupi kerugian keuangan negara. Jika hasil lelang ternyata belum mencukupi, ia akan menghadapi hukuman tambahan penjara selama 2 tahun dan 8 bulan. Ini adalah pengingat betapa seriusnya dampak dari tindak pidana korupsi. (PERS)