PAPUA - Di tengah harapan besar untuk menciptakan damai dan kemakmuran di tanah Papua, hadir ironi yang menyakitkan: kelompok bersenjata yang mengklaim diri sebagai pembela rakyat justru menjadi sumber utama penderitaan. Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang dulunya didengungkan sebagai simbol perlawanan, kini dinilai telah menjauh dari cita-cita mulia rakyat Papua.
Alih-alih memperjuangkan hak-hak warga secara bermartabat, OPM malah menebar ketakutan dan kekerasan. Serangan terhadap warga sipil, pembakaran sekolah dan puskesmas, penyanderaan tenaga medis serta guru, hingga pemerasan terhadap masyarakat di kampung-kampung terpencil menjadi potret buram perjuangan yang kehilangan arah.
"Perjuangan yang benar tidak membunuh rakyat sendiri, " tegas Pendeta Markus Wonda, tokoh gereja dari Wamena, Jumat (18/4/2025). "Apa yang dilakukan OPM saat ini hanya menciptakan luka dan trauma di hati rakyat Papua."
Suara penolakan terhadap aksi brutal OPM kini makin nyaring. Tokoh adat, pemuka agama, aktivis kemanusiaan, hingga masyarakat biasa sepakat bahwa jalan damai adalah satu-satunya pilihan. Mereka menuntut dihentikannya kekerasan dan mengembalikan ruang hidup yang aman bagi masyarakat sipil, terutama bagi perempuan, anak-anak, dan lansia yang paling rentan menjadi korban.
Di wilayah seperti Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, dan Maybrat, ribuan warga terpaksa meninggalkan kampung halaman karena wilayah mereka dijadikan medan konflik. Mereka hidup tanpa kepastian, tanpa layanan dasar, dan jauh dari tanah yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka.
Sementara itu, pemerasan oleh kelompok bersenjata kian marak. Warga diminta menyerahkan hasil kebun, uang, hingga logistik. Penolakan dibalas dengan intimidasi, bahkan kekerasan. Ini bukan lagi perjuangan, ini teror atas nama kebebasan.
Rakyat Papua pantas mendapatkan damai, bukan derita. Mereka membutuhkan pembangunan, bukan peluru. Dan suara mereka kini bersatu: cukup sudah kekerasan atas nama perjuangan. (APK/Red1922)