Menguatkan Rantai Nilai Lokal, Herman Djide: Jalan Menuju Kemandirian Ekonomi Desa dan Kesejahteraan Berkelanjutan

1 day ago 6

PANGKEP SULSEL - Jika kita ingin membangun kemandirian ekonomi yang sejati, maka tidak ada jalan lain selain memperkuat rantai nilai lokal di tingkat desa dan kelurahan. Rantai nilai lokal bukan sekadar urusan produksi dan distribusi, tetapi menyangkut bagaimana seluruh proses ekonomi—dari hulu ke hilir—dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat secara berkelanjutan. Ketika rantai nilai lokal diperkuat, maka uang tidak akan keluar begitu saja ke pusat-pusat ekonomi besar, tetapi justru akan terus berputar di dalam komunitas lokal. Inilah kunci utama peningkatan kesejahteraan masyarakat dari bawah.

Uang yang terus berputar di dalam suatu wilayah menciptakan efek multiplikasi. Setiap rupiah yang dibelanjakan di warung milik warga, setiap hasil panen yang dijual ke pasar lokal, dan setiap produk buatan UMKM yang dikonsumsi oleh warga setempat—semua itu berkontribusi pada aliran ekonomi internal yang sehat. Masyarakat menjadi tidak sekadar konsumen, tetapi juga produsen dan pelaku ekonomi aktif yang menentukan arah pertumbuhan wilayahnya sendiri. Inilah yang dinamakan ekonomi kerakyatan yang sesungguhnya: berbasis lokal, inklusif, dan berkelanjutan.

Namun, untuk menciptakan ekosistem ekonomi lokal yang kuat, dibutuhkan tiga elemen utama sebagai pilar pendukung. Ketiga elemen ini adalah Badan Usaha Milik Desa (BumDes), Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dan koperasi. Ketiganya memiliki peran dan karakteristik unik, namun saling melengkapi dalam membangun kemandirian ekonomi desa dan kelurahan.

Pertama, BumDes. Badan Usaha Milik Desa adalah instrumen penting yang dimiliki desa untuk mengelola potensi dan aset lokal secara kolektif. BumDes bisa menjadi katalisator pengembangan ekonomi desa jika dikelola dengan transparan, profesional, dan berbasis pada kebutuhan serta potensi riil masyarakat. Sayangnya, masih banyak BumDes yang berjalan stagnan karena kurangnya kapasitas manajerial dan akses permodalan. Di sinilah peran negara dan pendamping profesional menjadi sangat penting. Jika diberdayakan secara tepat, BumDes bisa menjadi jantung ekonomi desa, menciptakan lapangan kerja, dan menumbuhkan unit-unit usaha produktif yang menyasar kebutuhan lokal.

Kedua, UMKM. UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia, termasuk di desa. Dari pengrajin, petani, peternak, nelayan, hingga pedagang kecil—semua merupakan pelaku UMKM yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Tantangan utama mereka adalah keterbatasan modal, akses teknologi, dan pasar. Untuk mengangkat UMKM desa agar naik kelas, dibutuhkan program pelatihan, pendampingan, dan integrasi dengan platform digital maupun sistem distribusi modern. Pemerintah dan swasta harus membuka jalan agar produk lokal bisa menembus pasar regional, nasional, bahkan global, tanpa menghilangkan identitas lokalnya.

Ketiga, koperasi. Koperasi adalah wadah penguatan ekonomi kolektif yang berbasis pada prinsip keadilan dan kebersamaan. Dalam konteks desa, koperasi dapat menjadi instrumen penting untuk menyatukan kekuatan ekonomi rakyat, seperti koperasi petani, koperasi simpan pinjam, atau koperasi produsen. Keberadaan koperasi yang sehat akan memberikan alternatif pembiayaan yang lebih adil bagi anggota dan mendukung usaha mikro agar tidak terjerat praktik rente atau bunga tinggi dari lembaga keuangan informal. Namun, koperasi juga perlu direvitalisasi dengan manajemen yang modern, transparan, dan akuntabel agar bisa bersaing di era ekonomi digital.

Ketiga pilar tersebut harus didukung dengan ekosistem kebijakan yang pro-rakyat, insentif fiskal, dukungan teknologi, serta penguatan jaringan antar pelaku lokal. Kolaborasi lintas sektor—antara pemerintah, perguruan tinggi, swasta, media, dan masyarakat—menjadi mutlak agar pembangunan ekonomi lokal tidak berjalan sendiri-sendiri.

Penting pula untuk menanamkan budaya konsumsi lokal di tengah masyarakat. Kampanye cinta produk lokal harus menjadi gerakan bersama, bukan hanya slogan. Ketika masyarakat desa bangga dan memilih menggunakan produk dari tetangganya sendiri, maka efek domino kesejahteraan akan semakin terasa. Kita harus mengubah pola pikir dari “mencari yang dari luar” menjadi “mengembangkan yang dari dalam.”

Pada akhirnya, memperkuat rantai nilai lokal bukan hanya soal ekonomi. Ini adalah jalan menuju martabat, kemandirian, dan keadilan sosial. Ketika masyarakat desa memiliki kontrol atas sumber daya ekonominya, maka mereka tidak hanya sejahtera secara materi, tetapi juga berdaya secara sosial dan politik. Sebuah desa yang kuat secara ekonomi akan menjadi fondasi bagi Indonesia yang tangguh dan berdaulat.

Dan di tengah tantangan global yang kian kompleks, ketahanan ekonomi lokal adalah benteng terakhir kita. Maka mari kita perkuat BumDes, majukan UMKM, dan hidupkan kembali semangat koperasi. Sebab dari desa, Indonesia bisa berdiri lebih tegak dan melangkah lebih jauh. ( Hasanuddin)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |