PAPUA - Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang selama ini mengklaim sebagai pejuang kemerdekaan rakyat Papua, kini justru dipandang sebagai penghalang cita-cita luhur masyarakat Papua. Tindakan kekerasan yang mereka lakukan, penyerangan terhadap warga sipil, dan penggunaan perempuan serta anak-anak sebagai tameng hidup, mengungkapkan bahwa gerakan ini tidak lagi memperjuangkan rakyat, melainkan kepentingan kelompok tertentu.
Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua Tengah, Filep Murib, dengan tegas menegaskan bahwa rakyat Papua sebenarnya hanya menginginkan kehidupan yang damai, aman, dan sejahtera. “OPM telah merusak harapan rakyat Papua. Yang mereka lakukan justru menciptakan ketakutan, bukan membela kepentingan masyarakat. Mereka membunuh rakyat sendiri, membakar sekolah, dan menghambat pembangunan, ” kata Filep dengan nada kecewa, Sabtu (31/5/2025).
Selama beberapa tahun terakhir, keberadaan OPM di wilayah-wilayah pedalaman Papua justru memperburuk kondisi sosial masyarakat. Kelompok ini melakukan pemerasan terhadap warga desa, menyita bahan makanan, serta menutup akses pendidikan dan kesehatan dengan alasan menentang kehadiran pemerintah. Tindakan tersebut semakin menambah penderitaan rakyat yang seharusnya dilindungi dan diberdayakan.
Tokoh pemuda Papua, Melkior Tebay, menyesalkan bahwa kini nama Papua seringkali dikaitkan dengan kekerasan akibat ulah kelompok separatis. “Citra kita rusak karena tindakan segelintir orang yang mengklaim diri sebagai pejuang, padahal tindakannya jauh dari nilai-nilai perjuangan itu sendiri, ” ujarnya dalam sebuah diskusi publik di Jayapura.
Pendeta Yonas Tabuni, tokoh gereja di wilayah Pegunungan Tengah, juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap cara-cara kekerasan yang digunakan oleh OPM. “Kalau mereka bilang berjuang untuk rakyat, kenapa yang jadi korban adalah rakyat sendiri? Tuhan tidak pernah membenarkan kekerasan terhadap sesama, ” ujarnya dengan penuh keprihatinan.
Dr. Ruth Wonda, pengamat politik Papua dari Universitas Cenderawasih, menilai bahwa OPM telah kehilangan orientasi perjuangan mereka. "Dari semangat awal yang mengusung keadilan, kini mereka menjadi aktor utama konflik horizontal di Papua. Mereka tidak punya agenda pembangunan, hanya aksi kekerasan tanpa arah, ” jelasnya, menggarisbawahi perubahan signifikan dalam tujuan dan metode perjuangan OPM.
Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya perdamaian dan pembangunan, semakin banyak warga yang menolak keberadaan OPM di wilayah mereka. Di beberapa daerah, masyarakat bahkan secara terbuka mendukung kehadiran aparat keamanan demi terciptanya stabilitas dan ketertiban.
Kehadiran OPM yang dulunya mengusung perjuangan kini justru menjadi duri dalam daging bagi rakyat Papua. Alih-alih membebaskan, mereka justru membelenggu Papua dalam ketakutan dan keterbelakangan, mencederai harapan akan kehidupan yang lebih baik dan damai. (*/Red)