BARRU - Pernyataan Ketua DPRD Barru, H. Syamsuddin Muhiddin, terkait kasus HRD, anggota DPRD dari Partai Demokrat yang terbukti melanggar kode etik berat, pada 19 September 2025 justru menuai kritik tajam.
Pernyataan tersebut dinilai oleh Kesatuan Aktivis Barru (KIBAR) sebagai alibi yang justru semakin memperjelas dugaan pelanggaran etik oleh Ketua DPRD sendiri.
Menurut KIBAR, tindakan Syamsuddin menunjukkan sikap lemah, lamban, dan inkonsisten dalam menegakkan aturan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa mekanisme pemberhentian HRD tidak dijalankan tepat waktu dan berulang kali dihambat dengan dalih kehati-hatian.
Kronologi Penundaan dan Dalih yang Dipertanyakan
KIBAR merinci beberapa poin penting yang menjadi dasar kritiknya:
* Penundaan Paripurna: Putusan Badan Kehormatan (BK) yang dikeluarkan pada 6 Agustus 2025 seharusnya diumumkan paling lambat 5 hari kerja setelahnya. Namun, pengumuman tersebut baru dilakukan pada 29 Agustus 2025, sebuah penundaan yang dinilai sebagai pengabaian terhadap Tata Tertib (Tatib) DPRD dan Tata Beracara BK.
* Dalih Kehati-hatian yang Menyesatkan: Alasan konsultasi ke Biro Otonomi Daerah (Otoda) dan DPD Partai Demokrat Sulawesi Selatan dianggap KIBAR tidak relevan. Menurut mereka, putusan BK bersifat final dan mengikat tanpa perlu persetujuan eksternal. Penundaan ini justru membuka celah bagi HRD untuk tetap hadir dalam rapat dan menikmati hak-haknya sebagai anggota dewan.
* Potensi Pelanggaran Hukum: Akibat kelalaian ini, HRD tetap menikmati fasilitas kedewanan, yang menurut KIBAR, berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3, karena dianggap memperkaya orang lain secara melawan hukum.
Ketua DPRD Dinilai Layak Diproses Etik
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, KIBAR menilai H. Syamsuddin Muhiddin telah gagal melaksanakan kewajibannya. Ketua KIBAR, Fahrul, menegaskan bahwa Syamsuddin telah melecehkan putusan BK dengan menunda dan mengulur waktu.
"Ketua DPRD Barru, H. Syamsuddin Muhiddin, layak diproses di BK DPRD atas dugaan pelanggaran kode etik dan sumpah janji jabatan, " tegas Fahrul.
Ia juga menambahkan bahwa ada potensi besar bagi Syamsuddin untuk diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua DPRD karena dianggap gagal menjaga marwah lembaga dan tunduk pada kepentingan politik sempit.
"Barru adalah tanah religius. Tidak ada tempat bagi pelaku amoral maupun pimpinan dewan yang abai terhadap aturan, " pungkas Fahrul.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa kasus ini bukan hanya masalah administratif, tetapi juga menyentuh nilai-nilai moral dan etika yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Barru.
Sebelumnya, dalam pernyataan resminya kepada awak media pada Jumat (19/9/2025), Syamsuddin menyatakan bahwa proses pemberhentian HRD telah dilakukan sesuai dengan mekanisme dan peraturan yang berlaku. Seluruh tahapan telah dilalui secara prosedural.
Menurutnya, pimpinan DPRD Barru telah mengirimkan surat usulan peresmian pemberhentian HRD kepada Bupati Barru pada 17 September 2025.
"Surat tersebut bernomor 100.3.11/713/DPRD dan telah diterima oleh Sekretariat Daerah di hari yang sama", katanya.