Jakarta, - Menurut Sapari, SE. M.Si seorang dosen yang telah lama mengkaji pendidikan karakter dan filsafat kebangsaan, mata kuliah Kewarganegaraan bukanlah sekadar pelajaran tentang sistem pemerintahan atau konstitusi. Ia menyebutnya sebagai “ruang etis dan intelektual” yang sangat strategis dalam membentuk watak bangsa.
“Kewarganegaraan adalah mata kuliah yang mengajarkan kita bukan hanya menjadi warga negara yang tahu hak dan kewajiban, tapi juga menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawab sosial dan moralnya terhadap bangsa.” kata Sapari, SE. M.Si, Dosen di pada Matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Kampus ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Selasa 15 Juli 2025.
Perspektif Holistik Sapari, SE. M.Si,
Sapari, SE. M.Si, yang akrab disapa Fahri, menekankan bahwa Kewarganegaraan harus dilihat secara holistik, karena ia menyentuh tiga dimensi utama:
Dimensi Kognitif: Mahasiswa memahami sistem demokrasi, hukum, dan HAM.
Dimensi Afektif: Mahasiswa menginternalisasi nilai-nilai seperti toleransi, gotong royong, dan cinta tanah air.
Dimensi Psikomotorik: Mahasiswa terdorong untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan politik.
“Kita tidak sedang mencetak ahli hukum atau politisi semata, kita sedang membentuk warga negara yang berkarakter dan berdaya.” Jelasnya.
Relevansi Akademik Menurut Sapari
Sapari melihat mata kuliah ini sebagai titik temu antara berbagai disiplin ilmu. Ia menyebutnya sebagai “mata kuliah lintas nilai” karena menggabungkan:
Filsafat: untuk membangun kesadaran etis.
Sosiologi: untuk memahami dinamika masyarakat.
Ilmu Politik dan Hukum: untuk memahami struktur negara dan hak warga.
Pendidikan: untuk menanamkan nilai sejak dini.
“Kewarganegaraan adalah laboratorium nilai. Di sinilah mahasiswa belajar menjadi manusia Indonesia seutuhnya.” Terangnya.
Urgensi Kontekstual: Menjawab Tantangan Zaman
Safarai juga menyoroti tantangan zaman seperti globalisasi, disinformasi, dan krisis identitas. Ia percaya bahwa Kewarganegaraan adalah benteng intelektual dan moral yang harus diperkuat.
“Di tengah arus budaya luar dan krisis nilai, Kewarganegaraan menjadi jangkar identitas kita sebagai bangsa.” Ungkapnya lagi.
Dalam konteks lokal seperti Sukabumi Mubarokah, Fahri melihat bahwa nilai-nilai yang diajarkan dalam Kewarganegaraan sangat relevan: membangun masyarakat yang inklusif, berdaya, dan berkarakter.
Penutup dari Fahri
“Kalau kita ingin Indonesia Emas 2045 bukan hanya jadi slogan, maka Kewarganegaraan harus jadi pondasi. Bukan hanya di kelas, tapi di hati dan tindakan setiap warga.” Tutupnya.