Tony Rosyid: Dinasti Jokowi Digoyang?

3 hours ago 1

POLITIK - Berbeda dengan SBY, panggilan akrab presiden ke-6 yang turun dengan tenang dan nyaris tidak ada gejolak, Jokowi turun seolah penuh tragedi. Setidaknya ada dua. Pertama soal ijasah. Kedua, tuntutan pemakzulan terhadap Gibran. Kedua isu ini secara politik bisa cukup berat. Terutama untuk karir keluarga Jokowi.

Kenapa keluarga Jokowi, dan bukan hanya Jokowi? Perlu dipahami bahwa politik itu sangat personal. Urusan masing-masing orang. Kakak-adik, bapak-anak, bahkan suami istri biasa memiliki identitas politik masing-masing. Satu dengan yang lain terpisah. Tapi, dalam politik Jokowi, identitas keluarga menyatu menjadi satu entitas. Semua berasal dari satu sumber yaitu kekuasaan Jokowi. Dari kekuasaan inilah Gibran menjadi Walikota Solo, lalu wakil presiden. Bobbi Nasution, menantu Jokowi, jadi Walikota Medan, lalu Gubernur Sumut. Juga Kaesang dalam hitungan hari langsung menjadi ketua PSI. Kesuksesan mereka sulit dirasionalisasi tanpa back up kekuasaan Jokowi.

Politik keluarga Jokowi ibarat pohon. Jokowi sebagai akarnya. Anak dan menantu menjadi cabang dari pohon-pohon itu. Ketika akar pohon tidak kuat menahan terpaan angin, maka semuanya ikut tumbang. 

Di atas pundak Jokowi ada beban politik terhadap Gibran, Bobbi dan Kaesang. Ketiganya adalah anak-anak muda yang sedang menanjak karirnya. Tapi, karena karir mereka tidak tegak di atas kematangan pengalaman sendiri, tapi lebih karena bersumber dari kekuasaan Sang ayah, maka nasibnya akan sangat bergantung kepada kekuatan Jokowi. Jika Jokowi kuat, mereka akan ikut kuat, dan peluang masa depannya lapang. Tapi, jika kekuatan Jokowi melemah, maka kekuatan dan masa depan politik mereka akan ikut melemah, dan bisa jadi akan menunggu waktu untuk runtuh.

Saat ini, Jokowi sedang menghadapi tuduhan jasah palsu. Jokowi bahkan dikejar-kejar oleh sejumlah pihak yang selama Jokowi berkuasa, mereka merasa diperlakukan tidak adil. Jokowi terlibat konflik dan permusuhan dengan mereka. Pendekatan konflik yang dilakukan Jokowi saat berkuasa tidak begitu saja terhapus dan terlupakan setelah Jokowi lengser.

Jadi, masalah utama, dan ini yang paling krusial mengapa Jokowi setelah pensiun masih terus dikejar masalah adalah "jejak permusuhan Jokowi sedemikian masif kepada banyak kelompok". Ini fakta obyektif yang tidak bisa dipungkiri".

Pertama, Jokowi bubarkan FPI dan HTI secara kontroversial. Ini tentu punya konsekuensi politik untuk jangka panjang.

Kedua, Jokowi penjarakan puluhan aktifis yang mengkritiknya. Mulai dari Anton Permana, Syahganda, Jumhur, Roy Suryo, Eggy Sudjana, Edi Mulyadi, Buniyani, Bernard, Maher, dan deretan nama tokoh yang sangat kritis terhadap Jokowi.

Ketiga, Jokowi dianggap orang yang paling ambisius untuk menghancurkan karir Anies. Ini membuat para pendukung Anies marah.

Keempat, Jokowi berseteru hebat dengan Megawati dan PDIP. Sebuah partai yang sejak tahun 2005 telah membesarkan Jokowi.

Kelima, tragedi pembantaian di KM 50 terjadi di era Jokowi. Tidak sedikit opini dan persepsi yang berkembang di publik menganggap KM 50 adalah bagian dari upaya Jokowi menghancurkan pengaruh pimpinan FPI. Satu aksi jalanan yang sangat kasar dan brutal, yang membuat banyak pihak bertanya-tanya: kok bisa pembantaian semacam ini terjadi di Indonesia?

Mereka, kelompok yang merasa dimusuhi oleh Jokowi selama berkuasa, terus akan bermanuver dan menuntut pengadilan terhadap Jokowi. Isu ijasah palsu dan pemakzulan Gibran hanya dua diantara tuntutan yang nanti boleh jadi akan muncul yang lain jika kedua tuntunan ini tidak berhasil. Ini bukan soal dendam, tapi lebih merupakan sebab-akibat dalam relasi sosial yang bisa dipahami rasionalitasnya.

Di sisi lain, Jokowi tidak punya penerus kekuasaan yang menjamin "rasa aman" terhadap dirinya. Gibran sebagai wakil presiden, posisinya tidak memberinya otoritas untuk mengamankan Jokowi dan dinastinya. Sementara Prabowo tidak mungkin pasang badan untuk mengamankan Jokowi. Prabowo adalah calon presiden yang dua kali dikalahkan "secara kontroversial" oleh Jokowi dalam pilpres. Tahun 2014 dan 2019. Kontroversial lebih merujuk pada proses, bukan hasil. 

Banyak yang menilai bahwa Gibran dianggap sebagai ancaman bagi Prabowo. Bukan Gibran, tapi kekuatan Jokowi yang meletakkan Gibran sebagai bayang-bayang Prabowo. Tuntutan pemakzulan oleh para jenderal (purn) merupakan petunjuk adanya ancaman itu. Mengapa para jenderal (purn) itu menuntut pemakzulan kalau tidak ada kehawatiran atas potensi lengsernya Prabowo. Di sinilah publik mesti cerdas membaca apa yang memicu para jenderal (purn) itu ngotot pemakzulan Gibran di tahun pertama Prabowo berkuasa. Takut Gibran capres 2029? Masih terlalu jauh. Takut Prabowo jatuh sakit, lalu meninggal di periode pertama? Prabowo sehat, dan semakin sehat. Lalu, apa triggernya? Ini yang menarik untuk anda telisik.

Isu ijasah palsu dan tuntutan pemakzulan Gibran tidak hanya merepotkan Jokowi, tapi semakin berhasil mendown-grade politik dinasti Jokowi. Siapapun dalam posisi Jokowi, dia akan terjepit. Sementara, Jokowi punya beban untuk mengawal dan membesarkan karir anak dan menantinya. 

Jika Jokowi bisa menunjukkan ijasah aslinya ke publik, maka situasi bisa berubah. Pamor Jokowi naik. Berangsur kelercayaan publik ke Jokowi akan membesar. Dengan menunjukkan ijasah asli, Jokowi akan mampu merehabilitasi keadaan politiknya, sekaligus menampar mereka yang menuduhnya.

Sebaliknya, jika para terlapor kemudian jadi tersangka tanpa membuka ijasah asli Jokowi ke publik, maka ini akan memperburuk kondisi politik Jokowi. Publik akan semakin marah dan hari-hari akan semakin besar narasi kebencian dan kemarahan publik terhadap Jokowi. Ini secara politik, tentu akan sangat merugikan bagi politik Jokowi itu sendiri. Persepsi publik teehadap Jokowi akan semakin negatif.

Soal isu pemakzulan Gibran, selama posisi Prabowo aman, Gibran juga akan aman. Bagaimana dengan masa depan Gibran di 2029? Ini satu hal yang berbeda.

Jakarta, 8 Juni 2024

Tony Rosyid*
Progamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Read Entire Article
Karya | Politics | | |