JAKARTA - Kekhawatiran publik terhadap Program Makan Bergizi Gratis (MBG) semakin memuncak menyusul laporan puluhan kasus keracunan yang menimpa anak-anak. Menjawab keresahan ini, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, tidak tinggal diam. Ia mengusulkan tiga skema alternatif yang diharapkan dapat menyempurnakan pelaksanaan program vital ini.
Said Abdullah, pada Selasa di Gedung DPR RI, Jakarta, memaparkan bahwa skema pertama yang diusulkan adalah penyaluran anggaran MBG melalui Dana Alokasi Khusus (DAK). Pendekatan ini memungkinkan dana langsung mengalir ke pemerintah daerah, diharapkan mempercepat dan mempermudah realisasi di tingkat lokal.
Skema kedua yang tak kalah menarik adalah mengintegrasikan bantuan MBG ke dalam Program Keluarga Harapan (PKH). “Kalau PKH selama ini per bulan Rp300 ribu, kita tambahin Rp300 ribu. Tapi yang Rp300 ribu itu untuk MBG, ” ujar Said Abdullah, menggambarkan potensi penambahan bantuan bagi keluarga penerima manfaat untuk kebutuhan gizi anak mereka.
Sementara itu, skema ketiga berfokus pada optimalisasi pengawasan dengan mendekatkan lokasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) ke sekolah-sekolah. Gagasan ini muncul sebagai respons terhadap insiden keracunan yang berdampak pada ribuan anak.
Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat angka yang mengkhawatirkan: hingga pertengahan September 2025, tak kurang dari 5.360 anak menjadi korban keracunan akibat program ini. Angka ini tentu saja memantik perhatian serius dari para pemangku kebijakan.
Menyikapi kondisi genting ini, Said menekankan perlunya evaluasi mendalam oleh pemerintah. “Harus segera dilakukan deteksi oleh pemerintah di titik mana saja dan apa penyebabnya? Apakah karena rantai pasok dari SPPG ke sekolah terlalu panjang? Karena satu SPPG melayani 3.000, apakah itu bisa diperpendek?” tanyanya, menggarisbawahi pentingnya identifikasi akar permasalahan.
Kendati demikian, Said menegaskan bahwa Program MBG tetap perlu dilanjutkan dengan perbaikan, bukan dihentikan. “Tapi tidak berarti ada konklusi harus di-setop. Jangan. Lebih baik mari kita deteksi dulu di mana letak masalahnya. Apakah karena jam 2 malam baru masak, sedangkan jam 12 pagi itu (harus disajikan)? Kan sudah 14 jam sendiri. Sehingga perlu pola baru, atau skema diubah, setiap sekolah ada satu SPPG. Sehingga itu akan lebih menarik dan lebih mudah dari sisi pengawasan, ” tuturnya penuh harap.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa juga sempat membuka opsi pengalihan anggaran MBG jika penyerapan masih rendah hingga akhir Oktober 2025. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak akan membiarkan anggaran yang tidak terserap menganggur, melainkan akan dialihkan untuk memangkas defisit atau utang negara.
“Kalau di akhir Oktober kita bisa hitung dan kita antisipasi penyerapannya hanya akan sekian, ya kita ambil juga uangnya. Kita sebar ke tempat lain, atau untuk mengurangi defisit, atau untuk mengurangi utang. Jadi pada dasarnya enggak ada uang nganggur di departemen atau kementerian yang di-earmark sampai akhir tahun, ” jelas Purbaya, menekankan efisiensi pengelolaan anggaran.
Purbaya menambahkan, komitmen Presiden terhadap MBG tak diragukan, namun realisasi di lapangan menjadi kunci. Kementerian Keuangan siap membantu mempercepat penyerapan dengan penguatan manajemen dan pengawasan. “MBG treatment-nya sama, kalau memang kita bisa lihat dan kita coba bantu termasuk mengirim manajemen dan segala macam, ” pungkasnya. (PERS)