PANGKEP SULSEL - Indonesia adalah salah satu eksportir udang terbesar di dunia. Namun, sering kali kita hanya melihat udang sebagai komoditas pangan yang dijual dalam bentuk segar atau beku. Padahal, potensi udang jauh melampaui itu. Di balik kulit, kepala, hingga cangkangnya, tersimpan nilai tambah yang bisa menjadikan udang sebagai emas biru yang menopang industri pangan, kesehatan, hingga kecantikan.
Selama ini, pasar internasional sangat mengandalkan Indonesia untuk suplai udang, terutama jenis vaname dan windu. Udang-udang ini banyak diekspor dalam bentuk mentah atau olahan sederhana. Misalnya, udang kupas, udang rebus beku, hingga aneka olahan siap saji seperti tempura, ebi furai, atau nugget. Produk-produk ini laris di Jepang, Korea, Eropa, hingga Amerika. Namun, pola ekspor semacam ini masih menempatkan Indonesia sebagai pemasok bahan, bukan pemain besar dalam industri bernilai tinggi.
Yang jarang disoroti adalah pemanfaatan limbah udang. Kulit, kepala, hingga cangkang yang selama ini dibuang ternyata mengandung kitin dan kalsium. Dari sinilah lahir produk turunan bernilai tinggi, mulai dari pupuk organik, tepung udang untuk pakan, hingga chitosan yang menjadi bahan baku farmasi dan kosmetik. Bayangkan, sesuatu yang selama ini dianggap limbah justru bisa menjadi pintu masuk Indonesia ke industri modern yang lebih menguntungkan.
Di pasar farmasi, chitosan dari udang telah lama digunakan sebagai bahan kapsul, obat luka, hingga pembalut luka bakar. Sementara di industri kecantikan, chitosan menjadi komponen penting dalam krim anti-aging, masker wajah, hingga produk perawatan rambut. Negara-negara maju sudah lama memanfaatkan potensi ini, sementara Indonesia masih dominan bermain di hilir paling bawah: ekspor udang mentah.
Lebih jauh lagi, udang juga dapat diproses menjadi produk kuliner khas dengan nilai ekspor tinggi. Terasi atau belacan, yang sering kita anggap produk tradisional sederhana, ternyata menjadi incaran di Eropa dan Asia Tenggara. Bahkan, ekstrak udang berbentuk bubuk banyak dipakai sebagai penyedap umami dalam industri makanan global. Artinya, inovasi lokal bisa naik kelas jika dikemas sesuai standar internasional.
Peluang besar ini mestinya membuka mata kita bahwa industri udang tidak berhenti di tambak. Udang adalah ekosistem. Dari tambak, pabrik pengolahan, hingga laboratorium kosmetik dan farmasi, rantai nilai udang seharusnya bisa diintegrasikan. Jika semua lini dikelola dengan serius, udang akan menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara, sekaligus mengangkat kesejahteraan petambak di desa.
Sayangnya, pengolahan bernilai tinggi ini masih minim. Banyak pengusaha kecil menengah yang belum memiliki akses teknologi atau modal untuk masuk ke industri farmasi dan kosmetik. Padahal, jika pemerintah, akademisi, dan industri bekerja sama, transfer teknologi ini bisa dipercepat. Negara lain seperti Jepang dan Korea sudah membuktikan, bahwa limbah udang bisa menjadi bahan baku suplemen diet yang diekspor dengan harga tinggi.
Sudah waktunya Indonesia berhenti menjual udang hanya sebagai makanan. Kita harus memandang udang sebagai sumber daya strategis yang bisa menembus pasar global di berbagai sektor. Dengan strategi industrialisasi yang tepat, udang bisa menjadi ikon baru ekonomi biru Indonesia.
Kesimpulannya, udang bukan sekadar santapan lezat di meja makan. Ia adalah komoditas strategis yang mampu membuka jalan menuju kemandirian industri pangan, farmasi, hingga kosmetik. Udang adalah emas biru Nusantara yang menunggu digali dengan lebih cerdas.
Pangkep 17 Agustus 2025
Herman Djide
Ketua Dewan Pimpinan Daerah ( DPD) Jurnalis Nasional Indonesia ( JNI ) Cabang Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) Provinsi Sulawesi Selatan