Jejak KH Mohammad Thoha ‘Alawy Al-Hafidz dari Demak ke Parakanonje hingga Makkah al-Mukarramah

2 hours ago 2

BANYUMAS - Kalimat penuh hikmah itu sering sekali diucapkan oleh Abuya KH Mohammad Thoha ‘Alawy Al-Hafidz, ulama Al-Qur’an dari Parakanonje, Banyumas, baik dalam pengajian maupun dalam bincang-bincang santai dengan para tamu, termasuk penulis, diantaranya : “Barang siapa yang senantiasa menjaga Al-Qur’an, maka akan dicukupi kehidupannya oleh Allah Swt.”

Di mata saya, Abuya Kiai Thoha tidak sekadar sosok kiai, ulama, guru, atau murobbi. Beliau adalah orang tua sekaligus teman yang meneduhkan hati, asyik diajak ngobrol, tempat curhat, dan pemberi kesejukan dalam banyak persoalan. Apalagi dengan ayah saya, Almarhum H. Saliyun Moh Amir (Semarang), serta ayah mertua saya, Almarhum KH Achmad Mansyur (Kedunglemah, Kedungbanteng), yang keduanya sangat dekat dengan beliau. Hampir selalu dalam setiap acara penting keluarga kami, Abuya Kiai Thoha hadir.

Terakhir, beliau hadir dalam upacara pernikahan anak saya, Itsna Rahma Fitriyani dengan Ahmad Hartoyo, di Convention Hall Masjid Agung Jawa Tengah, Kota Semarang, 17 September 2022. Saat itu beliau bersama para kiai lain seperti KH Zuhrul Anam (Gus Anam) Leler, KH Ahmad Shobri Jatilawang, dan KH Sholahuddin Masruri. Padahal, perjalanan Parakanonje ke Semarang memakan waktu 6–7 jam dengan mobil pribadi. Tetapi Abuya selalu ada.

Ketika KH Ahmad Mansyur sakit, Abuya pun datang mendoakan. Ia juga selalu bangga jika ada santri yang menekuni profesi wartawan seperti saya. Bahkan beliau berpesan, “Jangan tinggalkan profesi wartawan ini.” Maka jadilah saya istikamah menekuni dunia jurnalistik lebih dari 35 tahun, sejak 1987 hingga kini.

Haul Pertama Sang Ulama dan Penjaga Cahaya Al-Qur’an

Senin, 18 Agustus 2025 M bertepatan 25 Shafar 1447 H adalah haul pertama Almaghfurlah Abuya KH Mohammad Thoha ‘Alawy Al-Hafidz. Menurut KHM Sa’dullah (Gus Sa’dun), menantu beliau, berbagai kegiatan diselenggarakan di Pondok Pesantren Ath-Thohiriyyah, Parakanonje, Desa Karangsalam, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas. Mulai dari semaan Al-Qur’an, yasin-tahlil, ngaji bareng alumni, hingga pengajian akbar.

Abuya wafat pada Jumat, 25 Shafar 1446 H bertepatan 30 Agustus 2024 M. Beliau meninggalkan istri tercinta, Nyai Hj. Tasdiqoh, yang dinikahinya usai menimba ilmu di Makkah tahun 1982. Dari pernikahan itu lahir sepuluh putra-putri, Ning Rifqoh, Ning Fatmah SThI, MPd, KH Ahmad Musyaffa’ Lc, Almarhumah Ulfah ‘Iffatus Saniyah (wafat 10 Juni 2004), Gus Ahmad Rofi Lc, Gus Ahmad Muadz, Gus Muhammad Faza, Ning Milatun Asna, Ning Nihayatul Widad, dan Gus M. Faqih Mubassyir.

Dari Demak Menuju Cahaya Ilmu

Dalam skripsi mahasiswi UIN Saizu Purwokerto, Padilah Silvana Karommah (2024), berjudul “Gaya Kepemimpinan Abuya KH Mohammad Thoha ‘Alawy A.H. dalam Mengembangkan Pondok Ath-Thohiriyyah”, disebutkan bahwa Abuya lahir pada 2 Februari 1953 di Demak. Ayah beliau bernama Djahudi dan ibu bernama Mursilah. Nama asli beliau adalah Muhammad Thoha Djahudi. Gelar Alawy merupakan penghormatan kepada gurunya, Sayyid Alawy, ayahanda Sayyid Muhammad al-Maliki al-Hasani di Makkah.

Abuya lahir dari keluarga petani sederhana, tetapi penuh cinta pada ilmu dan ulama. Sejak kecil, beliau diarahkan untuk mendalami Al-Qur’an. Kiai Abdul Wahid dari Demak berpesan khusus kepadanya:

“Hafalkan Al-Qur’an terlebih dahulu, baru lanjutkan ilmu yang lain.”

Sejak itu, Abuya kecil menjalani kehidupan penuh perjuangan. Ia berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain: Al-Hikmah Benda Brebes, Tahfidz Nahdlatul Qur’an Kudus, hingga Kudus bersama KH Raden Asnawi. Meski ekonomi sangat terbatas, semangatnya membara.

Tahun 1972, Abuya berhasil mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an. KH Abdullah Umar Al-Hafidz Semarang kemudian membawanya ke Kauman, Semarang, agar murojaah lebih intensif. Dari sanalah berdiri Pondok Tahfidzul Qur’an Kauman yang berawal dari semangat beliau.

Menapak Jawa Timur dan Hijrah ke Makkah

Abuya sempat menimba ilmu di Bathokan Pethok bersama KH Jamaluddin, lalu ke Lirboyo, dan juga Futuhiyyah Suburan Mranggen bersama KH Muslih. Ia dikenal sebagai santri pekerja keras, bahkan rela bekerja di Surabaya hingga Lampung demi cita-cita menimba ilmu ke Makkah.

“Riyadloh saya adalah khatam Al-Qur’an setiap pekan.”

Pada 1978, cita-cita itu terkabul. Beliau tiba di Makkah, berguru pada Sayyid Muhammad al-Maliki al-Hasani, Syeikh Ali Yamani, Syeikh Ali Jabir, Syeikh Yasin Al-Falimbany, Syeikh Abdullah Al-Hajji, dan ulama besar lainnya. Abuya aktif mengikuti ijazah kitab tafsir, fiqih, hadis, dan memperkuat hafalan Al-Qur’an.

Pulangan yang Mengukir Sejarah

Tahun 1981, Abuya kembali ke tanah air. Setahun kemudian beliau menikah dengan Nyai Hj. Tasdiqoh, cucu pendiri Pondok Ath-Thohiriyyah Parakanonje. Doa keduanya berpadu: Abuya mendambakan istri yang siap tinggal di Makkah, sementara Nyai Tasdiqoh memohon suami yang mampu membawanya ke sana. Allah SWT  mempertemukan keduanya.

Pasangan ini sempat tinggal dua tahun di Makkah, hidup dengan penuh murojaah. Setelah pulang, Abuya mendirikan dan mengasuh Pondok Pesantren Ath-Thohiriyyah hingga akhir hayatnya.

Jejak Keilmuan dan Warisan Abadi

Para Guru Abuya

Berikut sebagian ulama guru Abuya KH Mohammad Thoha Alawy:

1. Kiai Abdul Wahid (Demak)
2. Kiai M. Arwani Amin Sa’id (Kudus)
3. Kiai Raden Asnawi (Kudus)
4. Kiai Abdullah Umar Al-Hafidz (Semarang)
5. Kiai Ahmad Umar Abdul Mannan (Mangkuyudan, Solo)
6. Kiai Hisyam (Kudus)
7. Kiai Mufid Mas’ud (Sunan Pandanaran, Yogyakarta)
8. Kiai Muslih bin Abdurrohman (Mranggen, Demak)
9. Kiai Murodi (Mranggen, Demak)
10. Kiai Ahmad Muthohar (Mranggen, Demak)
11. Kiai Jamaludin (Bathokan)
12. Kiai Mahrus Ali (Lirboyo)
13. Kiai Marzuki (Lirboyo)
14. Kiai Abdul Wasi’ (Semarang)
15. Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani (Makkah)
16. Syeikh Yasin Al-Falimbany (Makkah)
17. Syeikh Abdul Aziz (Makkah)
18. Syeikh Ismail bin Usman (Makkah)
19. Syeikh Ali Yamani (Makkah)
20. Syeikh Ibrahim (Makkah)
21. Syeikh Abdullah Al-Hajji (Makkah)
22. Syeikh Salim As-Satiri (Makkah)

Warisan beliau bukan hanya Pondok Ath-Thohiriyyah, melainkan pula ribuan santri, alumni, dan masyarakat yang tercerahkan oleh pengabdiannya.

Semoga putra-putri, cucu, para alumni, santri, dan kita semua dapat melanjutkan perjuangan beliau.

“Barang siapa yang menjaga Al-Qur’an, Allah akan menjaga kehidupannya.”

Demikian dituturkan Dr. H. Agus Fathuddin Yusuf, MA., tokoh NU, insan pers senior, Sekretaris MUI Jawa Tengah, dan Dosen FISIP Unwahas Semarang, kepada awak media, melalui jaringan telpon, Senin siang  (18/08/2025).

(Djarmanto - YF2DOI)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |