Kabupaten Mesuji Bukan Warisan, Pemerintahan Bukan Keluarga

3 months ago 23

OPINI - Beberapa waktu terakhir, publik Mesuji digegerkan oleh pemandangan yang tidak biasa. Bukan soal jalan berlubang atau pelayanan publik yang lelet, melainkan kemunculan kembali mantan Bupati Khamami dalam berbagai agenda resmi Pemerintah Kabupaten Mesuji.

Mulai dari audiensi ke kementerian hingga rapat pembangunan strategis, sosok Khamami hadir—bukan sebagai warga biasa—melainkan seolah mewakili otoritas formal. Tak sedikit masyarakat bertanya-tanya: apakah beliau sudah menjabat kembali? Atau hanya “dihadirkan” tanpa status dan posisi hukum yang jelas?

Kami tidak menutup mata bahwa di masa lalu, Khamami pernah memberi sumbangsih dalam pembangunan infrastruktur. Namun publik juga tak bisa melupakan bahwa beliau pernah tersandung kasus korupsi. Dan kini, status beliau bukan pejabat, bukan ASN, bukan staf ahli, bahkan bukan bagian dari tim teknis pemerintahan. Maka pertanyaannya wajar: atas dasar apa beliau bisa ikut campur dalam urusan birokrasi?

Pemerintah daerah berdalih bahwa ini bentuk “kontribusi positif.” Tapi mari kita jujur: kontribusi macam apa jika tidak memiliki kejelasan posisi, tanpa dasar hukum, dan justru menimbulkan kecurigaan publik? Jangan sampai praktik seperti ini membuka pintu lebar-lebar bagi penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk informal yang tak bisa dipertanggungjawabkan.

Pemerintahan adalah institusi yang berjalan berdasarkan hukum dan sistem, bukan relasi personal atau nostalgia kekuasaan. Jika mantan pejabat bisa masuk begitu saja ke ruang-ruang strategis birokrasi, tanpa kejelasan peran, kita sedang menyaksikan percampuran antara kepentingan publik dan jaringan kekuasaan lama.

Kami, masyarakat sipil Mesuji, tentu menginginkan kemajuan. Tapi kemajuan sejati tak mungkin lahir dari birokrasi yang dibayangi bayang-bayang masa lalu. Pemerintah harus segera memberi penjelasan terbuka: apa peran resmi Khamami dalam pemerintahan saat ini? Bila hanya sebagai penasihat pribadi, berikan ruang itu secara informal. Tapi bila ingin dilibatkan secara struktural, jalankan mekanisme dan aturan yang berlaku. Bila tidak, lebih baik hentikan kehadiran yang justru menciptakan kerancuan etika pemerintahan.

Kami tidak anti terhadap masukan tokoh mana pun. Tapi kami ingin pemerintahan berjalan sehat, akuntabel, dan profesional—bukan berdasarkan ilusi kedekatan atau ikatan keluarga.

Dalam sistem pemerintahan Indonesia, setiap pejabat publik punya batasan jelas. Bila seorang suami bukan pejabat, maka secara hukum ia tak memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ia bisa memberi dukungan moral atau saran sebagai pasangan hidup, tapi bukan mengambil keputusan strategis atau mengatur jalannya birokrasi.

Jika peran informal ini dibiarkan tanpa kontrol, maka risikonya nyata:

1. Tumpang tindih wewenang – Mengaburkan garis otoritas dan mengganggu sistem yang sudah baku.

2. Konflik kepentingan – Kepentingan pribadi bisa menyusup ke dalam keputusan publik.

3. Ketiadaan transparansi – Tidak jelasnya posisi membuka peluang praktik kekuasaan di balik layar.

Untuk itu, penting bagi Bupati dan orang-orang terdekatnya memahami dan menghormati batas peran masing-masing. Jangan jadikan pemerintahan sebagai panggung nostalgia masa lalu, karena rakyat berharap pada masa depan yang lebih bersih, lebih jelas, dan lebih adil.

Mesuji, 20 Juni 2025

Zaenudin, Aktivis Sipil Mesuji

Read Entire Article
Karya | Politics | | |