EKONOMI - Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini, Rabu (5/11/2025), merilis kabar yang patut disyukuri. Ekonomi Indonesia tumbuh 5, 04 persen pada triwulan III-2025 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year). Secara kuartalan, ekonomi juga naik 1, 43 persen (Q-to-Q) dibanding triwulan II-2025.
Pertumbuhan di atas lima persen ini menegaskan bahwa stabilitas ekonomi nasional masih terjaga. Inflasi terkendali, nilai tukar relatif stabil, dan konsumsi tetap menjadi penopang utama. Namun di balik catatan positif itu, bayang-bayang ketimpangan sosial dan spasial belum sepenuhnya hilang. Pertumbuhan kuat di satu sisi, tapi belum dirasakan merata di sisi lain — inilah mengapa ekonomi Indonesia berada antara stabilitas dan ketimpangan yang mengintai.
Ketika banyak negara di kawasan mencatat perlambatan, Indonesia masih mampu menjaga lajunya. Sebuah capaian yang patut diapresiasi, tetapi sekaligus mengundang pertanyaan lama yang tetap relevan: "siapa yang sebenarnya menikmati pertumbuhan ini?"
---
𝑫𝒖𝒂 𝑴𝒆𝒔𝒊𝒏 𝑼𝒕𝒂𝒎𝒂: 𝑷𝒆𝒏𝒅𝒊𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝑬𝒌𝒔𝒑𝒐𝒓
Dalam rilis resminya, BPS mencatat dua sektor utama yang menjadi motor pertumbuhan kali ini: jasa pendidikan dan ekspor barang serta jasa. Lapangan usaha jasa pendidikan tumbuh paling tinggi, mencapai 10, 59 persen, sementara ekspor barang dan jasa meningkat 9, 91 persen, dibanding Kuartal yang sama tahun lalu.
Keduanya mencerminkan dua wajah ekonomi kita. Sektor pendidikan tumbuh karena aktivitas belajar-mengajar dan belanja pendidikan kembali normal setelah masa pascapandemi. Sekolah, kampus, hingga lembaga pelatihan kembali hidup — menghidupkan ekonomi kecil di sekitarnya, dari pedagang kantin hingga penyedia jasa transportasi.
Sementara itu, kinerja ekspor menunjukkan peran Indonesia di pasar global yang tetap solid. Permintaan terhadap batu bara, minyak sawit, dan produk manufaktur masih tinggi, membuat kapal-kapal ekspor tetap berlayar. Namun ketergantungan pada komoditas primer membuat ekonomi kita masih rentan terhadap fluktuasi harga dunia.
𝑫𝒂𝒚𝒂 𝑩𝒆𝒍𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝑴𝒂𝒔𝒊𝒉 𝑻𝒆𝒓𝒕𝒂𝒉𝒂𝒏
Jika menelusuri lebih dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB) menurut pengeluaran, ceritanya menjadi lebih kompleks.
Konsumsi rumah tangga tumbuh 4, 89 persen (y-on-y), memberikan sumbangan terbesar terhadap pertumbuhan, yakni 2, 54 poin dari total PDB. Namun secara kuartalan, konsumsi justru turun 0, 56 persen dari kuartal II, menandakan kehati-hatian masyarakat dalam berbelanja.
Tekanan harga bahan pokok, biaya pendidikan, hingga cicilan rumah tangga membuat daya beli belum sepenuhnya pulih. Di sisi lain, pengeluaran pemerintah tumbuh 5, 49 persen, menunjukkan peran belanja negara dalam menjaga momentum pertumbuhan, terutama menjelang akhir tahun anggaran. Investasi (PMTB) juga tumbuh 5, 04 persen, menandakan geliat pembangunan fisik dan aktivitas bisnis mulai meningkat.
𝑷𝒆𝒓𝒕𝒖𝒎𝒃𝒖𝒉𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝑩𝒆𝒍𝒖𝒎 𝑴𝒆𝒓𝒂𝒕𝒂
Pertumbuhan lima persen memberi kesan optimistis, tetapi belum sepenuhnya merata. Di kota besar, pertumbuhan berarti lebih banyak proyek dan lapangan kerja. Namun di banyak daerah, terutama di luar Jawa, ekonomi rakyat masih berjalan lambat.
Sektor informal — pedagang kecil, pekerja lepas, hingga buruh harian — belum sepenuhnya bangkit. Mereka mungkin tercatat dalam angka pertumbuhan, tetapi belum benar-benar merasakan manfaatnya. Di sinilah jurang antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial masih terbuka lebar.
𝑴𝒆𝒏𝒋𝒂𝒈𝒂 𝑨𝒑𝒊 𝑷𝒆𝒓𝒕𝒖𝒎𝒃𝒖𝒉𝒂𝒏
Pemerintah pantas diapresiasi karena mampu menjaga stabilitas ekonomi di tengah tekanan global. Namun stabilitas tidak boleh membuat kita abai terhadap kualitas pertumbuhan. Tantangan ke depan adalah memperkuat konsumsi domestik, menjaga daya beli, serta memastikan investasi mengarah pada sektor produktif yang menciptakan lapangan kerja, bukan sekadar proyek fisik.
𝑷𝒆𝒓𝒕𝒖𝒎𝒃𝒖𝒉𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝑰𝒏𝒌𝒍𝒖𝒔𝒊𝒇h: Indra Gusnady
Pertumbuhan 5, 04 persen adalah kabar baik. Tetapi pertumbuhan sejati bukan hanya deretan angka di laporan BPS. Ia baru bermakna ketika bisa dirasakan oleh petani di kampung, nelayan di pesisir, guru honorer di desa, dan pedagang kecil di pasar.
Pertumbuhan yang inklusif adalah ketika ekonomi tak hanya bergerak di pusat kota, tetapi juga di pelosok negeri. Karena pembangunan sejati bukan tentang seberapa tinggi angka pertumbuhan, melainkan 'siapa saja yang ikut tumbuh di dalamnya'
Oleh: Indra Gusnady















































