Buntut Pernyataan di Sihaporas, Bane Raja Manalu Dilaporkan Sesepuh dan Tokoh Masyarakat Simalungun ke MKD DPR RI

1 month ago 25

JAKARTA-Sejumlah sesepuh dan tokoh masyarakat Simalungun dari berbagai daerah dan provinsi secara resmi melaporkan Bane Raja Manalu ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia

Bane Raja Manalu yang juga merupakan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Dapil Sumut III dilaporkan tokoh masyarakat Simalungun buntut pernyataan-nya di Nagori Sihaporas beberapa waktu lalu.

Pernyataan tersebut diduga melanggar kode etik dan dinilai tidak berdasar dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal di wilayah Simalungun, ”tulis Aliansi Masyrakat Simalungun dalam keterangan resminya yang diterima Jurnalis IndonesiaSatu.co.id, Jumat (03/10/2025).

Dalam keterangan resminya, Aliansi masyrakat Simalungun yang tergabung dengan persatuan tokoh masyarakat, adat dan budaya dari berbagai daerah dan provinsi menilai pernyataan tersebut mengganggu upaya pelestarian adat dan jati diri masyarakat Simalungun

“Dikarenakan Aliansi masyarakat Simalungun, yang tergabung dengan persatuan tokoh masyarakat, adat dan budaya dari berbagai daerah dan provinsi berkewajiban untuk melestarikan adat istiadat dan budaya warisan leluhur serta jati diri Simalungun, ”tegasnaya

Pernyataan Anggota DPR RI Fraksi PDIP, Bane Raja Manalu, terkait klaim tanah adat di Nagori Sihaporas, Kabupaten Simalungun, memicu gelombang penolakan dari masyarakat adat dan tokoh Simalungun.

Sesepuh Masyarakat Simalungun, Dr. Sarmedi Purba, SpOG, mengingatkan pemerintah agar mewaspadai potensi eskalasi konflik horizontal akibat narasi klaim tanah adat yang juga klaim sepihak kelompok masyarakat.

Ia juga menegaskan bahwa klaim keberadaan tanah adat oleh kelompok yang menamakan diri Lembaga Adat Keturunan Pomparan Ompu Manontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) tidak memiliki dasar historis maupun hukum.

Menurut para tokoh Simalungun, sejarah mencatat wilayah Kabupaten Simalungun berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan tradisional, mulai dari Kerajaan Nagur, Harajaon Maroppat hingga Harajaon Marpitu.

Dari sudut pandang sejarah di Simalungun maupun regulasi agraria, tidak dikenal istilah tanah adat atau tanah ulayat di Kabupaten Simalungun. Aliansi juga memaparkan bahwa marga Ambarita di Sihaporas berasal dari Samosir.

Selain itu, Dulunya Ompu Manontang Laut Ambarita disebut hanya diberi lahan untuk bermukim dan bertani oleh Opung Parmata Manunggal Damanik (Tuan Sipolha), yang kala itu menguasai wilayah Kerajaan Siantar, bukan tanah ulayat turun-temurun.

Untuk itu, Aliansi juga menegaskan tidak ada dasar hukum di Kabupaten Simalungun yang mengakui keberadaan tanah adat. Bahkan, Undang-Undang Agraria sejak era kolonial Belanda tahun 1870 pun menegaskan tanah bekas kerajaan otonom tidak boleh dijadikan tanah adat.

Atas dasar itu, mereka meminta Presiden Prabowo Subianto melalui kementerian terkait-khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian ATR/BPN untuk konsisten menindaklanjuti berbagai surat keputusan terkait status tanah adat di Simalungun.

Aliansi juga mendesak penjelasan terbuka mengenai Sertifikat Wilayah Adat yang diterbitkan BRWA atas nama Huta Sihaporas. Karena pernyataan yang tidak sesuai fakta sejarah dan hukum berpotensi menimbulkan eskalasi konflik, ” tegas Dr. Sarmedi Purba, Dr. Samsudin Manan Sinaga, dan Hermanto Hamongan Sipayung

Adapun sejumlah tokoh yang hadir dalam konferensi pers tersebut, Dr. Sarmedi Purba, SpOG, Ketua Umum DPP PACS Dr. Samsudin Manan Sinaga, SH, MH, Drs. Marim Purba, Hermanto Hamongan Sipayung, John Riahdo Girsang, Mariaman Purba, SH, MH, Ir. Johannes Saragih MBG, Rikkot Damanik , Jan Roiko Purba, S.Pd, Gullit L. Saragih dan Juliaman Saragih sebagai moderator

Read Entire Article
Karya | Politics | | |