JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara tegas meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak sebuah permohonan yang menggugat aturan beasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Permohonan yang diajukan dalam kerangka uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ini dinilai oleh DPR berpotensi menimbulkan diskriminasi dan justru menghambat upaya pemenuhan kebutuhan dokter spesialis di tanah air.
Anggota Komisi III DPR, I Wayan Sudirta, yang mewakili parlemen dalam sidang perkara di MK pada Kamis (2/10/2025), menyampaikan sikap tegas tersebut. Ia menyatakan, permohonan para pemohon harus ditolak seluruhnya, atau setidaknya dinyatakan tidak dapat diterima.
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya atau paling tidak menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima, " ujar Sudirta, yang mengikuti jalannya sidang secara daring.
Menurut pandangan DPR, gugatan yang menginginkan penyelenggaraan PPDS tanpa landasan rumah sakit justru bertentangan dengan tujuan untuk mempercepat ketersediaan dokter spesialis. DPR memandang bahwa basis rumah sakit dalam penyelenggaraan PPDS merupakan terobosan penting untuk memperluas akses dan menjawab defisit dokter spesialis yang masih sangat signifikan.
Sudirta menjelaskan, kombinasi sistem universitas dan rumah sakit dalam penyelenggaraan pendidikan kesehatan, khususnya program spesialis dan subspesialis, dipandang sebagai langkah inovatif. Tujuannya adalah untuk mengakselerasi produksi dokter spesialis guna menutupi kekurangan yang ada, terutama di daerah-daerah yang masih tertinggal.
Uji materi undang-undang ini diajukan oleh dua mahasiswa kedokteran dan dua dosen yang berprofesi sebagai ahli bedah dan ahli anestesi. Mereka merasa ada potensi konflik kepentingan terkait pemberian beasiswa dalam penyelenggaraan PPDS.
Saat ini, terdapat dua model penyelenggaraan PPDS: yang berbasis rumah sakit (hospital-based) di bawah Kementerian Kesehatan, dan yang berbasis universitas/kampus (university-based) di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi. Para pemohon berargumen bahwa kedua model ini menciptakan diskriminasi.
Perbedaan kebijakan, khususnya terkait pembiayaan, menjadi sorotan utama. Pemohon mengungkapkan bahwa mahasiswa PPDS di model hospital-based mendapatkan biaya pendidikan gratis, sementara di model university-based masih dibebani biaya yang tinggi. Hal ini dianggap tidak adil dan menimbulkan kecemburuan bagi calon spesialis di masa depan.
Oleh karena itu, para pemohon meminta MK untuk menghapus model penyelenggaraan berbasis rumah sakit. Mereka berpendapat bahwa seluruh penyelenggaraan PPDS seharusnya berada di bawah kerangka sistem pendidikan tinggi yang menjadikan kampus sebagai penyelenggara utama.
Dalam permohonan mereka, para pemohon juga meminta MK untuk membatasi peran rumah sakit pendidikan hanya sebagai mitra pelaksana klinis, bukan sebagai penyelenggara utama pendidikan spesialis.
Penyelenggaraan PPDS berbasis rumah sakit ini sendiri merupakan kebijakan baru yang diluncurkan setelah terbitnya Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Kebijakan ini diambil sebagai respons terhadap kondisi Indonesia yang masih kekurangan puluhan ribu dokter spesialis.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada Mei 2024 lalu mengungkapkan bahwa keterbatasan PPDS berbasis universitas, yang hanya melibatkan 24 fakultas kedokteran, menjadi alasan peluncuran model hospital-based. Beliau meyakini, model ini akan mampu mempercepat produksi dokter spesialis dengan melibatkan 420 rumah sakit pendidikan di seluruh Indonesia, tidak hanya terbatas pada fakultas kedokteran yang ada. (PERS)















































