JAKARTA – Di antara deretan nama yang pernah masuk dalam daftar merah Interpol, satu sosok koruptor kakap Indonesia masih menyimpan misteri kelam: Eddy Tansil. Ia adalah dalang di balik kasus korupsi triliunan rupiah yang menggemparkan negeri, namun kini keberadaannya bak ditelan bumi.
Eddy Tansil, seorang pengusaha yang merintis kariernya sejak era 70-an, memulai langkahnya dari bisnis sederhana seperti jual-beli becak dan perakitan sepeda motor. Seiring waktu, ia merambah ke industri minuman beralkohol, hingga namanya melambung pesat pada awal 1990-an dengan mendirikan PT Golden Key Group, sebuah perusahaan petrokimia raksasa.
Untuk mendanai ekspansi bisnisnya yang ambisius, Eddy mengajukan pinjaman bernilai fantastis ke Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Dana sebesar Rp1, 3 triliun, salah satu yang terbesar kala itu, pun cair. Namun, di balik pencairan dana yang mulus itu, tercium aroma tak sedap.
Tak berselang lama, kecurigaan publik dan aparat penegak hukum mengerucut pada Eddy Tansil. Pada 17 Februari 1994, Kejaksaan Agung menahan Eddy bersama seorang pejabat penting di Bapindo cabang Jakarta berinisial SP. Keduanya dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Koran Berita Yudha pada 18 Februari 1994 melaporkan, "Pengusaha ET yang dikenal sebagai 'raja bir' dan 'raja bajaj' itu secara resmi ditahan Kejaksaan Agung hari Kamis, setelah semalam sebelumnya diperiksa tim jaksa secara maraton dari pukul 18.15 WIB sampai pukul 24.30 WIB."
Penyidikan mengungkap fakta mengejutkan: pencairan kredit sebesar Rp1, 3 triliun itu tak lepas dari peran surat referensi dari Menteri Koordinator Politik dan Keamanan kala itu, Sudomo. Surat tersebut menjadi 'kartu sakti' yang memuluskan jalan Eddy mendapatkan dana segar dari Bapindo.
Sebuah kesaksian yang dikutip dari Berita Yudha (26 Agustus 1994) menceritakan, "Setelah melihat dengan mata sendiri Eddy Tansil akrab dengan Sudomo, dia semakin percaya diri terhadap Eddy Tansil, sehingga apapun yang diminta dalam keperluan proyeknya selalu dikabulkan."
Menanggapi keterlibatannya, Sudomo membantah surat referensinya memiliki kekuatan ajaib. Ia menegaskan bahwa keputusan pencairan kredit tetap berada di tangan bankir. (PERS)















































