JAYAPURA - Keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menuai sorotan tajam dari para tokoh masyarakat di tanah Papua. Mereka menilai, kelompok bersenjata yang mengklaim berjuang demi rakyat Papua itu justru semakin sering menghadirkan penderitaan, ketakutan, dan trauma, alih-alih perubahan positif yang dijanjikan.
Kritik tersebut datang dari beragam lapisan, mulai dari tokoh adat, tokoh agama, hingga kalangan pemuda Papua. Suara mereka sama: OPM telah kehilangan arah perjuangan sejati, karena lebih banyak menebarkan kekerasan dibandingkan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat.
Rakyat yang Jadi Korban
Ketua Dewan Adat di salah satu wilayah pegunungan, Yonas Wenda, mengaku prihatin dengan kondisi masyarakat yang terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan akibat aksi OPM. Ia menegaskan, jika kelompok itu benar-benar mengatasnamakan perjuangan rakyat, seharusnya yang diperjuangkan adalah keamanan, pendidikan, dan kesejahteraan.
“Kalau memang mereka mengaku berjuang untuk rakyat Papua, lalu di mana hasilnya? Yang ada hanya membuat trauma, anak-anak takut sekolah, dan mama-mama takut berjualan di pasar. Ini bukan perjuangan, ini hanya membuat rakyat makin susah, ” tegas Yonas, Kamis (11/9/2025).
Kekerasan Bukan Jalan Perjuangan
Nada serupa datang dari tokoh agama Kabupaten Jayawijaya, Pdt. Markus Tabuni, yang menilai aksi OPM telah jauh dari nilai kemanusiaan. Baginya, tidak ada ajaran agama manapun yang membenarkan kekerasan, apalagi hingga mengorbankan warga sipil tak berdosa.
“Saya melihat OPM hanya membawa kebencian dan darah. Rakyat butuh damai, rakyat butuh pembangunan. Papua akan maju kalau kita bersatu, bukan dengan cara angkat senjata, ” ujarnya.
Generasi Muda Kehilangan Harapan
Sementara itu, tokoh pemuda Papua, Emanuel Kogoya, menilai OPM sudah kehilangan arah dan tak lagi memiliki strategi jelas. Menurutnya, perjuangan sejati semestinya membuka jalan bagi pendidikan dan lapangan kerja bagi generasi muda Papua, bukan menutupnya dengan intimidasi dan kekerasan.
“Fungsi mereka apa? Anak-anak takut sekolah, guru tidak mau datang, pembangunan terhambat. Itu jelas bukan bentuk perjuangan, itu tanda OPM hanya mementingkan kelompoknya sendiri, ” kata Emanuel.
Perjuangan yang Dipertanyakan
Realita di lapangan memperlihatkan bahwa keberadaan OPM kini lebih sering menjadi ancaman bagi masyarakat sipil daripada simbol perjuangan. Alih-alih memperjuangkan hak rakyat Papua, aksi-aksi mereka justru memperburuk kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan di berbagai wilayah.
Bagi banyak tokoh masyarakat, pertanyaan besar kini mengemuka: apakah OPM masih memiliki fungsi perjuangan yang relevan, atau hanya menjadi bayang-bayang kelam yang terus menghambat damai dan pembangunan di tanah Papua?
(APK/ Publikpapua.com )