DENPASAR – Organisasi Persaudaraan Cinta Tanah Air (PCTA) Indonesia menggelar acara Tasyakuran Kelahiran Bung Karno di Sekretariat DPD PCTA Indonesia Bali, Jalan Kapten Sujana No. 28 Denpasar, Jumat (6/6/2025). Acara ini digelar dalam suasana khidmat dan dihadiri sebagian kecil keluarga besar PCTA Bali dengan agenda utama doa bersama untuk para leluhur dan pejuang bangsa, khususnya Bung Karno, serta memanjatkan harapan untuk keselamatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Rangkaian acara dilanjutkan dengan diskusi kebangsaan yang menyoroti dua tema penting, yaitu koreksi sejarah Proklamasi 17 Agustus sebagai kemerdekaan bangsa Indonesia dan 18 Agustus sebagai hari berdirinya NKRI, serta kajian tentang tempat kelahiran Bung Karno yang menurut PCTA berada di Ploso, Jombang. Dalam kesempatan tersebut, Ketua DPD PCTA Bali Bakhori Muslim menyerahkan buku "Jati Diri Bangsa" dan "Mencari Telur Garuda" kepada I Made Richy Ardhana Yasa (Ray) yang mewakili tokoh pariwisata Bali, Sugeng Pramono.
Bakhori menegaskan bahwa acara ini merupakan bentuk syukur atas kelahiran Bung Karno dan momentum untuk meluruskan sejarah yang selama ini dianggap keliru. Ia menyebut, hasil riset PCTA menemukan bukti bahwa Bung Karno lahir pada 6 Juni 1902, bukan 1901 seperti yang selama ini diyakini. Ia juga menekankan pentingnya memahami secara tepat tanggal kemerdekaan bangsa dan berdirinya negara agar tidak terjadi penyimpangan sejarah.
Diskusi berlanjut dengan kritik terhadap penggunaan frasa "Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia" yang dianggap tidak akurat. Menurut PCTA, 17 Agustus 1945 adalah hari kemerdekaan bangsa Indonesia, bukan Republik Indonesia, karena negara secara hukum baru berdiri pada 18 Agustus 1945 setelah pengesahan UUD 1945 dan pembentukan struktur kenegaraan.
Pernyataan ini didukung oleh Agus Iswahyudi, Sekretaris DPD PCTA Bali, Agus juga mengungkap bahwa sejumlah situs masa kecil Bung Karno di Jombang telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Ia berharap pelurusan sejarah ini dapat menjadi dasar pembentukan kesadaran nasional yang lebih akurat, serta menyadarkan masyarakat bahwa menyebut "17 Agustus sebagai Kemerdekaan Republik Indonesia" adalah bentuk ketidaktahuan sejarah yang bisa merendahkan martabat bangsa sendiri.
Acara ditutup dengan pemotongan tumpeng dan makan malam bersama. Dalam penegasan terakhirnya, PCTA menyampaikan harapan besar agar pemerintah dan lembaga legislatif mau mengkaji ulang frasa-frasa kenegaraan yang dianggap keliru.
“Sudah saatnya bangsa ini melakukan tobat nasional dan mengakui dua tonggak besar: 17 Agustus sebagai Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan 18 Agustus sebagai Berdirinya NKRI, ” tegas Agus.(Ray)