Sachet: Kecil di Tangan, Berdampak Besar terhadap Lingkungan. Solusi Murah atau Strategi Dagang?

2 hours ago 3

OPINI - Sachet, bungkusan mungil yang kita temukan hampir di setiap warung mulai dari shampoo, kopi, sabun hingga saus. Telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Praktis, murah, dan dianggap sebagai solusi untuk rakyat kecil. Namun, di balik kenyamanan itu, kemasan sachet menyimpan bom waktu lingkungan yang kian sulit untuk dijinakkan.

Menurut data terbaru, Indonesia mengonsumsi sekitar 67 miliar sachet plastik setiap tahun, atau setara dengan 183 juta sachet per hari. Angka ini bahkan melampaui Filipina, yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu negara dengan konsumsi sachet tertinggi di dunia. Ironisnya, apa yang dianggap sebagai “inovasi inklusif” ini ternyata lebih menguntungkan produsen dibandingkan menyelesaikan persoalan akses barang kebutuhan pokok untuk rakyat.

Biaya produksi sachet sangat murah, bahkan bisa ditekan hingga sepersekian dari kemasan biasa. Namun, margin keuntungan yang diperoleh perusahaan justru melonjak. Dalam bungkus kecil itulah skema bisnis besar berjalan: semakin banyak dijual, semakin besar pula cuan yang dikantongi. Rakyat diberikan narasi "murah dan mudah", padahal industri meraup laba yang besar dan meninggalkan jejak sampah yang sulit terurai.

Dari miliaran sachet yang beredar setiap tahun, 90?rakhir di tempat pembuangan akhir, sungai, hingga laut. Ukurannya yang kecil membuatnya nyaris tidak bernilai secara ekonomi untuk didaur ulang, namun dampaknya besar terhadap ekosistem. Sachet bukan hanya mencemari perairan, tetapi juga merusak sistem saluran air dan masuk ke rantai makanan dalam bentuk mikroplastik.

Lebih memprihatinkan lagi, aturan pemerintah terhadap industri sachet masih kabur. Tidak ada keharusan yang jelas bagi produsen untuk menarik kembali sampahnya atau membayar kompensasi atas pencemaran yang ditimbulkan. Produksi terus berjalan, distribusi makin masif, namun solusi tak kunjung muncul. Sebaliknya, masyarakat malah dibebani tanggung jawab untuk “reduce, reuse, recycle”—tiga kata ajaib yang mustahil dijalankan tanpa sistem pendukung yang konkret.

Sementara itu, negara-negara lain mulai bergerak cepat. Di Eropa, produsen diwajibkan membayar kompensasi dan mengelola kembali sampah produknya melalui skema Extended Producer Responsibility (EPR). Mereka juga harus menyiapkan refill station agar masyarakat bisa membeli ulang produk tanpa kemasan. Sri Lanka bahkan melarang sachet plastik berukuran di bawah 20 gram sejak 2021.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah memang telah menetapkan target pelarangan sachet berukuran di bawah 50 gram—tapi itu masih akan berlaku pada tahun 2030. Saat negara-negara lain sudah melaju kencang dengan regulasi tegas, kita seperti baru saja Bersiap, masih merapikan Langkah dan menata arah, seolah belum benar-benar yakin harus mulai dari mana. Kesadaran masyarakat perlahan mulai tumbuh, semakin banyak yang ingin berubah. Tapi tanpa keberpihakan nyata dari kebijakan dan dukungan dari industri, semangat perubahan itu mudah padam. Kita butuh langkah bersama, bukan hanya seruan moral agar perubahan tidak berhenti di tataran wacana. Melainkan benar-benar terasa dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis: Fitria Nur Masithoh, S.E., M.Pd.

(Dosen Institut Agama Islam Uluwiyah Mojokerto)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |