PAPUA - Situasi di Tanah Papua kembali memanas menyusul pernyataan provokatif dari kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Mereka menolak pembangunan pos militer TNI di Puncak Jaya dan sembilan lokasi lain, bahkan mengancam aparat keamanan serta meminta warga non-Papua segera angkat kaki. Ancaman ini, bagaimanapun, dinilai sebagai narasi menyesatkan yang tak berdasar.
Keberadaan TNI di Papua, termasuk pendirian pos pengamanan, sejatinya adalah langkah yang sepenuhnya legal, konstitusional, dan sah di mata hukum nasional. Hal ini ditegaskan oleh Pakar Hukum Tata Negara Universitas Cenderawasih, Dr. Yunus Wonda, yang menjelaskan bahwa kehadiran TNI merupakan implementasi amanat konstitusi.
“TNI memiliki mandat menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah negara. Pembangunan pos militer di wilayah rawan bukan tindakan provokatif, tetapi tanggung jawab konstitusional untuk melindungi rakyat dan menjaga stabilitas nasional, ” tegas Dr. Yunus Wonda kepada wartawan, Minggu (9/11/2025).
Lebih lanjut, peran TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk penanganan kelompok separatis bersenjata dan pengamanan wilayah perbatasan, juga dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Pendekatan TNI di Papua kini tak lagi sebatas misi militer, melainkan merambah ke aspek sosial dan kemanusiaan. Sesuai Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Papua, TNI aktif mendukung pemerintah daerah dalam berbagai sektor, mulai dari pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, hingga kegiatan sosial kemasyarakatan.
Komandan Korem 173/PVB, Brigjen TNI Slamet Wahyudi, menekankan fokus TNI pada pembangunan dan pembinaan masyarakat.
“Kami hadir bukan untuk menakut-nakuti masyarakat, tapi untuk melindungi dan membantu mereka. Prajurit kami aktif dalam kegiatan sosial — dari membantu sekolah, memperbaiki fasilitas umum, hingga mengirimkan bantuan kesehatan ke daerah terpencil, ” ujarnya.
Sementara itu, tindakan kekerasan dan ancaman TPNPB-OPM terhadap warga sipil non-Papua merupakan pelanggaran serius terhadap Hukum Humaniter Internasional. Serangan terhadap guru, tenaga medis, dan pekerja infrastruktur adalah kejahatan yang tak dapat dibenarkan.
Menurut pengamat keamanan Universitas Indonesia, Kol (Purn) Wahyu Indra, aksi tersebut memenuhi unsur tindak pidana terorisme.
“Serangan terhadap warga sipil dan fasilitas publik merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. OPM tidak dapat berlindung di balik alasan politik karena tindakan mereka jelas melanggar hukum nasional maupun internasional, ” ujarnya.
Pemerintah dan TNI secara konsisten menegaskan bahwa Papua adalah bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setiap langkah pengamanan yang dijalankan TNI dilandasi prinsip legalitas, akuntabilitas, profesionalitas, serta komitmen kuat terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Pendeta Markus Murib, tokoh masyarakat Puncak Jaya, merasakan kehadiran TNI membawa rasa aman bagi warganya.
“Warga kami butuh perlindungan, bukan ketakutan. Kalau tidak ada TNI, masyarakat di kampung-kampung bisa menjadi korban kekerasan. Kami tahu mereka datang bukan untuk berperang, tapi untuk melindungi, ” katanya dengan nada tegas.
Kehadiran TNI di Papua adalah manifestasi nyata dari negara yang hadir di wilayah strategis dan penuh tantangan. Pembangunan pos militer bukan simbol penindasan, melainkan benteng perlindungan bagi rakyat dan pembangunan Papua yang damai serta sejahtera. Melalui kombinasi pendekatan keamanan dan kemanusiaan, TNI terus berupaya memastikan setiap jengkal tanah Papua aman dari ancaman separatisme dan teror bersenjata, demi melindungi rakyatnya.















































