DENPASAR – Tokoh budaya dan seniman besar asal Pemogan, I Nyoman Wisura Kusuma, BA, mendapat apresiasi dari WKS atas peran aktifnya dalam upaya mediasi atas kasus dugaan perundungan dan diskriminasi yang dialami oleh WKS.
Dalam keterangannya, WKS menyampaikan harapan agar peran Wisura sebagai bagian dari Kertha Desa dapat memperkuat jalannya penyelesaian yang adil, damai, dan bermartabat.
“Beliau adalah budayawan besar yang sangat saya hormati. Saya percaya pendekatan beliau akan mendorong mediasi yang bijak dan tidak memihak, sehingga tidak ada lagi korban diskriminasi di Desa Adat, ” ujar WKS.
Namun demikian, WKS tidak hadir dalam mediasi yang dijadwalkan Minggu, 20 Juli 2025, di kantor LPD Pemogan. Ia menyebut alasan ketidakhadirannya sebagai bentuk kehati-hatian karena merasa tidak aman dan menganggap lokasi mediasi belum sepenuhnya netral.
“Saya tidak menolak paruman, tetapi setelah mengalami perundungan pada paruman sebelumnya dan belum ada jaminan kenyamanan, saya harus mempertimbangkan keselamatan saya secara psikologis, ” katanya.
WKS menambahkan bahwa dirinya tetap membuka pintu dialog dan berkomitmen untuk mendukung penyelesaian secara adat sepanjang prosesnya berjalan dengan objektif dan menghormati hak-hak individu.
Sementara itu, Jro Bendesa Pemogan menyampaikan bahwa proses penyelesaian adat telah dilimpahkan sepenuhnya kepada Kertha Desa. Ia menegaskan, keputusan akhir akan dibawa ke Paruman Agung untuk ditetapkan secara resmi.
Wisura Kusuma sendiri menekankan pentingnya menyelesaikan persoalan ini di ranah adat, dan menyayangkan ketidakhadiran WKS dalam paruman. Namun ia juga menyatakan kesiapan untuk terus menjembatani dialog damai dan tidak mengumbar permasalahan ke ruang publik.
Di tengah dinamika ini, WKS menegaskan bahwa dirinya tidak bermaksud mencemarkan nama baik desa. Ia bahkan telah membuat surat permintaan maaf secara pribadi kepada Jro Bendesa yang disampaikan pada mediasi pertama. Namun, ia mengaku belum menerima tembusan surat tersebut maupun notulen mediasi dari aparat banjar.
“Saya menyampaikan permohonan maaf kepada warga yang merasa terganggu karena persoalan ini sampai ke media. Tapi mohon dipahami, saya hanya ingin keadilan. Saya sudah membuat surat maaf resmi saat mediasi pertama, tapi tidak pernah menerima salinan atau tindak lanjutnya, ” ungkapnya.
WKS juga menyayangkan pernyataan sebagian pihak yang membantah adanya wacana diskriminasi atau desakan menghaturkan banten guru piduka, padahal menurutnya hal itu disampaikan dalam rapat banjar dan mediasi sebelumnya.
“Meskipun saya telah menyatakan kesediaan menghaturkan banten jika awig-awig disesuaikan, tetapi proses ini terasa buntu dan sanksinya berlebihan. Komunikasi dan koordinasi di internal prajuru harus diperbaiki agar penyelesaian adat tidak menyalahi rasa keadilan, ” ujarnya.
Lebih jauh, WKS menegaskan bahwa dirinya belum membawa kasus ini ke ranah hukum meskipun memiliki cukup bukti, karena mempertimbangkan dampak sosial terhadap pelaku dan keluarganya.
“Saya masih berpikir panjang. Saya tidak ingin menjatuhkan siapa pun, tapi kalau penyelesaian adat terus buntu, saya tentu berhak memperjuangkan hak saya sesuai hukum, ” katanya.
Selain isu perundungan, WKS juga menyampaikan bahwa dirinya belum mengambil langkah lanjutan terkait dugaan praktik KKN saat dirinya menjabat sebagai bendahara pada kegiatan ngaben massal. Namun ia membuka kemungkinan untuk mendorong audit menyeluruh oleh aparat terkait.
“Jika proses audit dilanjutkan, tidak hanya keuangan ngaben yang perlu diselidiki, tapi juga transparansi pengelolaan LPD sebagai bagian dari upaya menjaga integritas desa, ” ujarnya.
WKS mengutip pernyataan Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Dr. Ketut Sumedana, SH, MH, yang menyatakan bahwa pengawasan terhadap lembaga keuangan desa kini menjadi atensi utama pihaknya.
Melalui pernyataannya, WKS berharap agar penyelesaian kasus ini tidak menjadi pemicu perpecahan, melainkan momentum pembelajaran bagi desa-desa adat lain dalam membangun budaya saling menghormati dan mengedepankan keadilan tanpa kekerasan verbal maupun simbolik.
“Saya ingin masalah ini selesai dengan baik. Saya ingin pulang ke desa saya tanpa stigma, tanpa rasa takut. Bukan untuk membalas, tapi untuk mengembalikan rasa aman dan martabat saya sebagai warga, ” tutupnya. (Ray)