Yayasan Trisakti: Kampus Milik Masyarakat, Bukan Milik Pemerintah

1 month ago 21

JAKARTA - Universitas Trisakti, yang akrab disapa Trisakti, bukan sekadar perguruan tinggi swasta biasa. Ia adalah saksi sejarah, berdiri kokoh sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi swasta tertua dan terbesar di Indonesia. Kelahirannya pada 29 November 1965 berawal dari semangat para mahasiswa eks Universitas Res Publica (URECA) yang menemui Presiden Soekarno, memohon izin untuk kembali menimba ilmu di kampus yang pernah mereka cintai.

URECA sendiri merupakan buah karya Siauw Giok Tjhan, seorang tokoh pejuang dan politikus Tionghoa. Namun, gejolak politik pasca-Gestapu merenggut masa depan URECA, menjadikannya sasaran amukan massa. Permintaan pendirian kembali kampus ini pun disambut positif oleh Bung Karno yang kala itu masih memegang tampuk kekuasaan. Maka, lahirlah Universitas Trisakti, sebuah nama yang terinspirasi dari tiga pilar ideologi Soekarno: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Ketua Umum Badan Pengurus Yayasan Trisakti, Himawan Brahmantyo, menyoroti fakta penting mengenai lahan pendirian Trisakti. Kampus ini dibangun di atas tanah bekas BAPERKI (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia), tepat di reruntuhan Universitas Res Publica yang hancur lebur. Presiden Soekarno bahkan secara langsung memerintahkan Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) kala itu, Brigjen Sjarif Thajeb, untuk memberikan dukungan penuh bagi pendirian universitas baru ini.

Pada 27 Januari 1966, Brigjen Sjarif Thajeb bersama K. Sindhunatha secara resmi mendirikan Yayasan Trisakti. Dengan mengumpulkan dana pribadi sebesar Rp 1.571.963, yang tercatat dalam Akta No. 31 oleh Notaris Eliza Pondaag, S.H., pendirian yayasan ini menjadi bukti kuat.

"Fakta ini membuktikan bahwa Yayasan Trisakti bukan didirikan oleh pemerintah, " tegas Himawan, Jumat (10/3/2025).

Perjalanan Trisakti berlanjut pada tahun 1979, ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef menerbitkan Keputusan Nomor 0281/U/1979. Keputusan ini secara tegas menyerahkan urusan pembinaan, pengelolaan, serta seluruh aset Universitas Trisakti, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, kepada Yayasan Trisakti.

Awalnya, Trisakti membekali mahasiswa dengan lima fakultas: Hukum, Ekonomi, Kedokteran, Kedokteran Gigi, dan Teknik. Seiring waktu, yayasan terus berekspansi dengan mendirikan Akademi Perhotelan dan Kepariwisataan Trisakti, yang kemudian bertransformasi menjadi Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti pada 1989. Pengembangan ini tidak berhenti di situ, berbagai satuan pendidikan non-universitas lainnya seperti Akademi Teknologi Grafika Trisakti (1985), Sekolah Tinggi Manajemen Transpor Trisakti (STMT Trisakti, 1986), Akademi Asuransi Trisakti (1987), dan Akademi Akuntansi Trisakti (1993) turut didirikan oleh pihak yayasan.

Namun, kisah Trisakti tidak selalu mulus. Himawan mengungkapkan bahwa pasca-reformasi, lima satuan pendidikan non-universitas justru mengalami pertumbuhan pesat di bawah pengelolaan Yayasan Trisakti. Sebaliknya, Universitas Trisakti sendiri menghadapi tantangan berat sejak konflik internal merebak pada September 2002.

"Pasca-reformasi 5 satuan pendidikan Trisakti non-Universitas Trisakti semakin berkembang pesat di bawah pengelolaan Yayasan Trisakti, sedangkan Universitas Trisakti kondisinya memprihatinkan sejak terjadinya konflik pada September 2002, " ungkap Himawan.

Situasi semakin pelik dengan munculnya tudingan campur tangan dari berbagai pihak dalam pengelolaan Yayasan Trisakti, yang berujung pada dualisme kepengurusan. Himawan secara gamblang menyampaikan kekecewaannya.

"Keterlibatan pemerintah (oknum) mengambil alih Yayasan Trisakti dengan sewenang-wenang melakukan perbuatan melawan hukum, justru memperparah keadaan Trisakti baik kualitas maupun kuantitas, " beber Himawan.

Tak hanya itu, Himawan juga menuding adanya oknum pengurus yayasan yang memperkaya diri sendiri.

"Bukti bahwa memperkaya diri bahwa adanya penerimaan gaji yang fantastis yaitu 4-6 kali lipat di luar tunjangan-tunjangan lainnya, " tuturnya.

Himawan menegaskan kembali bahwa Trisakti adalah milik masyarakat luas, bukan pemerintah ataupun individu tertentu. Ia berharap, dalam penyelesaian konflik internal Trisakti, pemerintah dapat menjalankan perannya sebagai regulator semata.

"Bahwa segala konflik yang ada sudah berakhir dengan adanya putusan-putusan pengadilan dan sudah berkekuatan hukum tetap, sehingga semua pihak semestinya dapat menerima serta menghormati hukum yang berlaku, " pungkasnya. (PERS)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |