Oleh: Indra Gusnady
OPINI - Pernahkah Anda merasa sulit berkonsentrasi saat membaca artikel panjang—apalagi buku? Belum tuntas satu paragraf, tangan gatal ingin membuka ponsel. Ada suara notifikasi, ada video baru, ada trending topic yang seolah tak boleh dilewatkan. Kita semua tengah mengalami perubahan: dari manusia pembaca menjadi manusia penggeser layar.
Di era digital ini, kita tak lagi mencari pengetahuan seperti dulu. Kini, informasi datang dalam bentuk potongan pendek: cepat, padat, dan sering kali tanpa konteks. Algoritma media sosial tak peduli pada kebenaran atau kedalaman, ia hanya tertarik pada apa yang membuat kita betah berlama-lama di aplikasi. Akibatnya, yang viral menang atas yang bernas. Yang instan mengalahkan yang mendalam.
Kondisi ini membawa dampak nyata. Laporan PISA 2022 menempatkan kemampuan membaca pelajar Indonesia di posisi 72 dari 81 negara. Sementara menurut Common Sense Media (2023), remaja global menghabiskan 4–6 jam sehari di media sosial, dan kurang dari 15 menit untuk membaca buku. Angka ini menjadi cermin: kita punya akses ke informasi, tapi kehilangan kebiasaan mencerna.
Namun persoalan ini tak bisa semata-mata disalahkan pada generasi muda. Dunia tempat mereka tumbuh memang tak memberi ruang bagi keheningan. Setiap menit ada konten baru yang lebih menarik dari sebelumnya. Tak ada waktu untuk berhenti dan merenung. Bahkan membaca terasa seperti kemewahan yang langka.
Najelaa Shihab, pendidik dan aktivis literasi, menyebut fenomena ini sebagai krisis perhatian. “Anak-anak kita tak kekurangan bacaan, ” ujarnya, “yang hilang adalah ruang untuk benar-benar tenggelam dalam bacaan.” Dalam dunia yang terus bergerak, membaca butuh keberanian untuk berhenti sejenak.
Buku bukan sekadar kumpulan kata. Ia mengajarkan kesabaran, imajinasi, dan daya nalar. Tapi hari ini, buku sering kalah pamor dibanding konten motivasi cepat, teori konspirasi, atau hiburan ringan. Akibatnya, percakapan publik pun menjadi dangkal, mudah tersulut, miskin logika.
Prof. Bambang Kaswanti Purwo pernah berkata, “Bahasa adalah rumah bagi pikiran. Bila tak terbiasa membaca, kita kehilangan jendela untuk memahami dunia.” Itulah kekhawatiran terbesar dari budaya digital yang miskin literasi: kita fasih bicara, tapi tak mampu berpikir jernih.
Apakah ini berarti buku sudah kalah? Tidak juga. Tapi kita perlu mengubah cara memperlakukan buku. Literasi tidak harus selalu kaku dan klasik. Buku bisa dihidupkan kembali lewat diskusi daring, podcast, atau kanal YouTube yang membahas isi buku dengan cara menyenangkan. Sekolah bisa membuat membaca bukan sekadar tugas, tapi petualangan. Media bisa memberi ruang untuk tulisan yang mencerahkan, bukan hanya mengejar klik.
Yang harus kita lawan bukan teknologi, melainkan cara berpikir instan yang menyertainya. Algoritma tidak jahat, tapi ia tak punya nurani. Maka manusialah yang harus memandu arah. Bila tidak, kelak kita akan punya generasi yang sangat cepat menyerap informasi, tapi kesulitan memahami makna hidup.
Buku belum kalah. Tapi ia butuh kita untuk membelanya—bukan dengan nostalgia, tapi dengan strategi. Dengan menyesuaikan diri pada zaman, tanpa kehilangan kedalaman. Karena bangsa yang berhenti membaca adalah bangsa yang pelan-pelan kehilangan dirinya sendiri.