OPINI - “Menteri Keuangan berencana mencairkan Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke sejumlah bank umum untuk memperkuat likuiditas dan mendorong penyaluran kredit.” Begitulah kutipan berita yang ramai diperbincangkan dalam beberapa pekan terakhir. Angka yang fantastis itu memberi harapan bahwa mesin ekonomi Indonesia akan kembali dipacu lebih kencang.
Bank-bank dipaksa keluar dari zona nyaman, karena dana tersebut tak boleh diparkir di Surat Utang Negara. Ia harus mengalir ke sektor riil, menjadi kredit produktif bagi usaha, industri, dan rumah tangga.
Namun, di balik optimisme itu, ada pertanyaan mendasar yang perlu diajukan: apakah uang sebesar Rp200 triliun benar-benar akan sampai ke kantong rakyat? Atau hanya akan berputar di neraca bank, menambah tebalnya laporan keuangan tanpa menetes ke warung kecil, bengkel UMKM, dan dapur rumah tangga?
Secara teori, kebijakan ini masuk akal. Dengan likuiditas berlimpah, bank seharusnya lebih berani menyalurkan pinjaman. Tetapi ekonomi tak sesederhana hitungan neraca. Ketersediaan dana hanyalah prasyarat, bukan jaminan. Sisi lain yang lebih menentukan adalah ada tidaknya permintaan: apakah dunia usaha berani meminjam? Apakah rumah tangga cukup percaya diri untuk berbelanja?
Faktanya, daya beli masyarakat saat ini sedang rapuh. Harga pangan masih menjadi ganjalan utama. Beras, cabai, dan bawang terus menanjak, membuat rumah tangga kelas menengah bawah mengencangkan ikat pinggang. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Agustus 2025 tercatat di angka 117, 2, turun dari bulan sebelumnya yang masih 118, 1. Secara teknis angka ini masih menunjukkan optimisme, tetapi tren penurunannya memberi sinyal kehati-hatian. Rumah tangga menunda konsumsi non-pokok, hanya fokus bertahan.
Di sisi lain, data inflasi menunjukkan gambaran yang lebih rumit. Inflasi umum tahunan (IHK) masih terkendali di kisaran 2, 3 persen, sejalan dengan target Bank Indonesia. Namun, pada kelompok volatile food justru terlihat tekanan: meski Agustus mencatat deflasi bulanan –0, 61 persen akibat panen hortikultura, secara tahunan inflasi pangan bergejolak naik menjadi 4, 47 persen, lebih tinggi dibanding Juli yang sebesar 3, 82 persen. Lonjakan harga bahan pangan ini membuat ruang konsumsi masyarakat semakin sempit.
Bank Indonesia pun mencatat pertumbuhan kredit baru sekitar 9 persen (yoy) hingga pertengahan 2025—lebih rendah dari tren normal sebelum pandemi, yang mencapai 12–14 persen. Artinya, meski dana segar tersedia, permintaan kredit tak sejalan. Dunia usaha menahan ekspansi karena pasar domestik lesu. Investor membaca situasi ini, dan memilih menunggu.
Ekonom Aviliani dalam sebuah podcast mengingatkan bahwa masalah utama bukan hanya soal dana, melainkan soal kepercayaan fiskal. Masyarakat dan pelaku usaha masih ragu apakah kebijakan fiskal dikelola secara konsisten, produktif, dan transparan. Tanpa keyakinan ini, uang berapapun yang disuntikkan ke bank tak otomatis menggerakkan konsumsi dan investasi. Kekhawatiran yang sama disampaikan oleh pakar lain: likuiditas berlimpah tidak menjamin kredit mengalir, jika risiko usaha terasa lebih besar daripada potensi untungnya.
Kondisi ini dapat diibaratkan pemerintah sedang menuangkan air ke dalam bak besar. Bak itu penuh, tetapi pipa yang mengalir ke sawah bocor di sana-sini. Air tidak sampai. Bank terlihat sehat dengan neraca yang tebal, tetapi denyut ekonomi rakyat tetap melemah. UMKM kesulitan modal kerja, rumah tangga menahan belanja, dan konsumsi—penopang lebih dari separuh PDB—tetap melemah.
Di sinilah letak tantangannya. Rp200 triliun bisa menjadi katalis pertumbuhan, tetapi hanya jika diarahkan dengan presisi. Pemerintah tidak cukup hanya menyalurkan dana ke bank, melainkan perlu memastikan porsi signifikan mengalir ke sektor yang benar-benar menyerap tenaga kerja dan menstimulasi konsumsi. Kredit bagi UMKM, sektor pertanian, dan industri padat karya harus mendapat prioritas. Bank yang menerima penempatan dana negara semestinya diberi kewajiban jelas, bukan hanya imbauan, agar kredit benar-benar menyentuh ekonomi rakyat.
Lebih jauh, kebijakan ini perlu dipadukan dengan strategi menjaga daya beli. Program padat karya bisa memberi pendapatan langsung, bantuan sosial tepat sasaran melindungi kelompok miskin ekstrem, dan penyesuaian upah minimum yang selaras dengan inflasi pangan akan memberi ruang bagi pekerja. Jika konsumsi kembali bergerak, permintaan kredit pun meningkat, dan investor memperoleh sinyal positif untuk menanam modal.
Akhirnya, ekonomi bukan ditentukan oleh seberapa besar uang tersimpan di bank, melainkan seberapa nyata ia berputar di pasar, warung, bengkel, dan ladang. Rp200 triliun akan tinggal angka megah bila hanya mengendap di neraca perbankan. Tetapi bila benar-benar mengalir ke sektor riil, ia bisa menjadi bahan bakar pertumbuhan yang kokoh.
Kuncinya ada pada mekanime pemerintah, memastikan jalur penyaluran berjalan lancar. Kepercayaan, kepastian regulasi, dan perlindungan risiko bagi bank menjadi prasyarat agar dana ini tidak berhenti di tengah jalan. Pada akhirnya, ekonomi adalah soal keberanian uang bergerak ke tangan yang tepat. Jika berhasil, percikan ini bisa menyalakan mesin pertumbuhan. Jika gagal, ia hanya akan menjadi gema yang cepat hilang.
Oleh: Indra Gusnady, SE, MM